[9] Euforia

1K 129 8
                                    

Raihan mengaduk gelas berisi es cendol itu dengan sendok. Di samping jalan tepat toko yang sudah tutup. Perkataan Lovia dua hari lalu masih membekas dan tidak akan pernah dia lupakan. Dua hari ini pula Raihan tidak tau bagaimana kondisi gadis netra coklat madu itu.

"Dua temannya mana, Rai? Biasanya kalian kalau pergi sepaket," tanya laki-laki di atas kepalanya ada topi. Biasa dipanggil Mang Junis.

"Rai tinggal, mereka ikut banyak tingkah," sahutnya. Mengingat nama dua sohibnya itu Raihan benar-benar kesal.

Tiga kali tegukan es di dalam gelas itu habis. Raihan beranjak sembari mengeluarkan uang, sepasang matanya merasa tak asing dengan gadis yang tengah ingin menyebrang jalan. Raihan tidak tau apa ini sebuah kebetulan, kenapa mereka berdua terus dipertemukan dan cara berjalan gadis itu membuatnya gusar.

Raihan bingung kenapa saat cuaca panas Naura selalu memakai jaket, kecuali saat malam minggu dirinya mengajak pergi ke alun-alun Naura memakai dress tapi jelas setiap gerakan gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu.

"Ara!" teriaknya. Raihan tersenyum kemudian berlari mendekat.

Naura tersentak kaget.

"Kamu kenapa ada di sini? Jangan selalu ikutin aku." Naura mundur gerakan cepat menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.

"Gue itu gak ikutin lo tapi emang gue liat lo. Jalannya aneh sih semua orang yang liat jadi bingung."

Naura tertegun sejenak. Jika dirinya terus bertingkah seperti ini bisa-bisa saja laki-laki di hadapannya akan bersikap sesuka hati.

"Aku beneran nggak tau tujuan kamu itu apa? Please, aku sibuk. Jang--"

"Semakin lo kaya gitu, gue malah makin suka, penuh tantangan." Raihan menyela lalu meraih tangan Naura. Tak lama ia menggulung lengan jaket biru itu, sesuai yang dikatakan Lovia banyak bekas lebam di sana.

Naura kembali tertegun, jantungnya nyaris berhenti. Dapat dia lakukan hanya mengikuti kehendak Raihan. Elusan lembut dan nyaman terasa di kulitnya yang membiru.

Mengingat penyebabnya Naura tersenyum pahit, entah kesekian kali Naura berhasil kabur dari rumah walaupun itu sia-sia karena sang papa pasti menemukannya melalui perantara suruhan Darel.

"Lo pasti kabur ya? Jelas banget muka kaya bingung gitu. Mau ikut gue, gue jamin lo bakal aman. Jangan takut seorang Raihan Dipran orang baik," katanya.

Sebagai jawaban Naura mengangguk, yakin Raihan bukanlah orang jahat yang Raihan katakan tidak semua orang seperti papanya dan Abian.

Hampir lima belas menit keduanya berjalan di trotoar dengan jarak cukup jauh. Raihan sama sekali tidak protes justru sekarang hatinya berbunga-bunga menyadari gadis cantik itu tidak takut lagi.

Tepat berhenti di gedung besar Raihan berhenti begitupula Naura yang nyaris menabrak punggung Raihan, kepalanya mendogak ke mana arah pandangan Raihan jatuh.

"SMA Ragian," gumam Naura.

"Iya, sekolah gue. Bagus, kan? Masa lo nggak sadar sih gue lagi pakai seragam sekolah ini." Raihan tertawa pelan.

"Kamu mau bawa aku ke mana?" Naura menepis tangan Raihan. "Yang aku sadari itu nggak ada tas di bahu kamu, kalau pengen ambil silahkan. Aku tunggu di sini," lanjutnya.

Bukannya menurut, Raihan berjongkok di depan Naura.

"Mau gue gendong atau tangan lo yang digandeng." Berikutnya Raihan tertawa keras menatap punggung mungil itu yang memasuki gedung dengan langkah cepat. Ekor matanya sempat melirik rona merah di kedua pipi Naura.

Benar yang orang lain katakan bahagia itu senderhana.

TIDAK

Jangan sampai dia kembali menaruh hati terhadap orang asing. Naura menepuk pipinya pelan, tidak peduli rasa nyeri dikakinya asalkan dia menjauh.

"Balik badan, Ara. Ini bukan sekolah kamu. Nanti dikira anak hilang," gumamnya. Belum sempat Naura berbalik badan suara pantulan mengisi pendengaran. Kepalanya tertoleh, ternyata langkah kakinya membawa ke lapangan SMA Ragian cukup luas persis seperti sekolahnya dulu.

"Kenalin yang lagi mendrible bola itu sohib gue. Namanya Nikan," ucap Raihan.

"Aku nggak nanya. Sepenting itu kah kamu kasih tau?" jawab Naura.

Raihan mengerutkan keningnya mendengar nada ketus itu sebagai respon dia mengedikkan bahunya.

"Mau gue ajarin main basket kayaknya lo tertarik banget dan sesuka itu." Setelah mengatakannya, Raihan memeluk lengan Naura, dia kira akan ada penolakan namun Naura bersedia ke tengah lapangan.

Laki-laki berkacamata bulat itu tersentak dengan kedatangan Raihan yang membuatnya bingung seseorang bersama Raihan. Baru ingin membuka mulut Raihan lebih dulu merebut bola di tangannya.

"Jangan kepo, intinya lo dan semuanya harus jagain dia. Namanya Naura pacar Raihan."

Detik kelima Raihan meringis sakit kakinya ditendang. Tentu saja Naura yang melakukannya. Ah, dia baru sadar semua gadis tidak mau bersanding padanya.

Raihan menahan senyum tepat sore ini dia dapat menyimpulkan Naura Euforia. Sudut bibirnya yang terus melengkung sampai kedua mata Naura semakin sipit.

Nikan yang mengawali pembicaraan mengenalkan diri lalu setelahnya Raihan tidak lagi menatap raut ketakukan gadis itu.

"Makanya punya kaki jangan pendek. Kalau lo berhasil masukin bola ini ke ring gue kasih hadiah," ujarnya mengejek.

Naura berdecak kesal, mengatur napasnya. Bagaimana bisa dia mengejar Raihan jika sekarang laki-laki itu terus berlari menyentuh bolanya pun selalu gagal.

"Aku nyerah!"

"Belum sepuluh menit udah nyerah."

"Kalian berdua aku sendiri." Naura menyapu pandangannya ke seluruh lapangan. Ternyata hanya mereka bertiga.

Sementara laki-laki di samping Raihan mengamati Naura. "Beneran pacar? Dasar buaya, nggak cocok lo sama dia, Rai. Naura Good girl."

Raihan menepuk bahu Nikan, sepasang matanya memandangi Naura yang berjalan mengelilingi lapangan, berhenti tepat di sisi lapangan pot yang berjejer rapi.

"Gue harus jadi sumber kebahagiaan Naura Rafia Hayden. Itu janji gue dan lo saksinya sekarang walaupun gue kenal sama Naura belum sebulan. Perasaan ini gak pernah gue raguin," gumam Raihan yakin.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang