Raihan melompat ke depan, menghalangi jalan Naura. Bibirnya berkedut menahan tawa, Naura lucu. Perut besarnya menyebabkan gadis itu susah berjalan. Belum memasuki dapur, Raihan mendengar napas Naura putus-putus.
"Dasar suami durhaka!"
Raihan tersentak. "Ups, maaf. Aku gak ketawa loh. Tadi udah mau ketawa tapi gak jadi. Ini aku senyum, senyum yang lebar-lebar!"
Naura memutar bola matanya, iris cokelat madu itu jatuh yang di bawa Raihan, sesuatu yang besar dan tertutup kain. Menyadari hal itu Raihan berjongkok ke lantai, menyibak benda yang di bawanya itu.
"Aku punya hadiah, sebenarnya tadi malam pengen aku kasih. Eh, kamunya ketiduran. Yaudah, sekarang aja. Liat deh." Raihan membantu Naura duduk di sampingnya.
Mata Naura seketika berbinar-binar, tak percaya. Raihan membuka hati-hati kandang kecil itu memeluk binatang khas bertelinga panjang dan bulunya yang lebat, Naura tersenyum cerah.
"Serius ini kelinci buat aku?" tanyanya ikut mengelus kelinci di pangkuan Raihan, atas kepala kelinci berwarna hitam, badannya putih bersih.
"Iya, daripada kamu minta kucing lebih baik kelinci. Enggak beda jauh lah sama-sama imut nanti ya soal kucing." Sebelah tangan Raihan mengusap rambut hitam Naura, kebahagiaan Naura adalah kebahagiaannya juga. "Kamu mau ikut aku ke kantor atau di rumah aja?" tanyanya.
Naura mendongak. "Di rumah, katanya Lovia mau ke sini. Udah lama aku gak ketemu Lovia."
Puas mengelusi bulu kelinci itu, Naura berdiri begitupula Raihan, mendengari setiap ucapannya.
"Kamu pengen kasih makanan, cukup buka bagian ini. Kalau gak mau ribet suruh Mbak Anis, dilepasin jangan lupa pintu rumah di tutup gak boleh kecolongan."
"Siap, bos!"
Tak tahan cowok berpakaian kemeja biru navy itu mencubit gemas pipi Naura lalu mengecup bibirnya sekilas, tertawa pelan melihat Naura yang terkejut.
"Papa kerja dulu ya, sayang? Dilarang bikin mama repot terus tiba-tiba perutnya sakit. Papa tau kamu udah gak sabar, bentar lagi juga keluar," kata Raihan.
Keduanya berjalan ke ruang tengah, Naura duduk di sofa panjang meminta Raihan meletakkan kandang kelinci di meja hadapannya.
"Aku sayang banget sama kamu, kalau ada apa-apa harus kabarin. Kamu ngeluh sakit lagi atau semacam kontraksi langsung telpon Kak Sila dan aku." Ekspresi Raihan mengatakannya dengan raut serius. Dia masih ingat nasehat wanita itu, kandungan Naura sudah sembilan bulan dan Sila mengungkapkan pemeriksaan terakhir Naura menunjukkan tanda-tanda, di mana bayi di perut Naura semakin aktif bergerak.
Naura meraih tangan Raihan. "Aku bakal selalu bertindak hati-hati, kamu tenang aja. Rumah ini juga ada satpamnya, kamu jangan khawatir." Sangat jelas Naura melihat garis wajah Raihan terserang panik, iris hitam itu campur aduk. Takut, khawatir, kemarahan.
Raihan menelan ludah menangkap jemari Naura, mengecupnya cukup lama. Naura sinarnya, tanpa Naura. Raihan tidak tau dengan hidupnya. Tapi jika sebaliknya, akankah Naura memiliki hal yang sama layaknya Raihan?
****
Lovia memekik kesenangan, semua curhat telah terbagi ke sahabatnya itu, tertawa mengejek memandangi perut besar Naura. Terakhir mereka bertemu, gadis itu menurut Lovia belum gendut.
Naura yang di tertawakan berdecak kesal, ini baru ejekan entah ke berapa. Bagaimana jika nanti dia bertemu Danika dan Nikan apalagi mulut julid Nikan. Lama mengenal kedua laki-laki itu Naura hafal sifat teman Raihan tersebut.
"Serius nih, Ra. Kita jalan-jalan ke taman komplek ... udah izin kan sama Rai?" Lovia anti sekali kena semprot, Naura merengek meminta merasakan rumput taman perumahan walaupun tidak terlalu jauh hanya sepuluh menit dari jarak rumah Naura dan taman.
"Iya. Padahal ngidam aku dah lewat, terus gimana hubungan kamu sama Danika?" tanyanya.
Naura melepaskan sandal sementara Lovia melakukan hal sama, geli sendiri dan lembut di telapak kakinya.
"Ya, gitu. Danika katanya pengen nurusin satu bulan lagi. Aku berasa geer di satu sisi aku takut," jawab Lovia pelan nyaris seperti bisikan.
"Takut kenapa?" Naura menaikkan sebelah alis sembari mengeluarkan ponsel di balik rok hitamnya, mengamati pesan paling atas. Pesannya masih centang satu, Naura harap Raihan tidak marah dia keluar dari rumah sekedar mencari udara segar, Naura bosan berada di rumah.
"Takut terlalu nyaman. Kita kan gak tau pas lagi sayang-sayangnya. Eh, gue malah ditinggalin. Enggak enak banget itu." Lovia cemberut, membayangkannya. Siap-siap saja akan Lovia ubah jadi lemper.
Naura memberikan pandangan geli, jarang sekali melihat Lovia air muka Lovia yang mudah berubah-ubah, awalnya senyum dan pipi tirus tersebut merah padam, kini matanya berapi-api dengan tangan terkepal.
"Cape berdiri, kita duduk di sana." Lovia kembali memasang sandal jepitnya, terdapat kursi di sisi taman.
Naura mengiyakan, baru empat langkah dia di buat tersentak karena Lovia berbalik badan, memberikan pelototan.
"Bahaya, Ra!"
"Maksudnya?"
Badan Naura sedikit gemetar, lidahnya kelu. Lovia jatuh tengkurap, berteriak memegang bahunya
"BANGSAT, SIALAN! DASAR BANCI!"
Rasanya Naura seolah di kepung, mencoba mengendalikan diri. Tiga orang pria berbadan besar, pakaian serba hitam. Naura tidak bisa mengenali wajahnya, ketiga orang itu bermasker dan matanya di tutupi kacamata hitam.
"GIAN SIALAN, LEPASIN GUE!"
Naura memucat. "Gi-gian? Kenapa? Aku tau kamu bu---"
"Tenang aja, Kak Ara. Gue janji gak nyakitin sahabat lo ini apalagi lo sendiri. Cuma gue butuh lo sekarang buat umpan." Pemuda berambut pirang itu menyela kemudian menarik paksa Lovia, mendorong Lovia ke pria di sampingnya.
Lovia mengumpat, ketakutan menyelimuti. Bibirnya secara beruntun mengumpati Gian.
"LARI, ARA! GUE MOHON!" teriak Lovia frustasi. Naura hanya bergeming seolah pasrah, tidak. Lovia paham yang di maksud Gian. Umpan? "Sebenarnya tujuan lo apa? Berani lo deketin Ara sekali lagi melangkah kaki lo patah, Gian!" desisnya tajam.
Ini kesalahannya.
"Aku bakal selalu bertindak hati-hati, kamu tenang aja. Rumah ini juga ada satpamnya, kamu jangan khawatir."
Air mata Naura jatuh, lehernya di peluk pemuda itu. Semua terlalu cepat, bau di sapu tangan itu membuat Naura luar biasa pusing hingga detik kesepuluh matanya memberat. Kesadaran Naura menghilang menyisakan penyesalan.
****
CERITA INI MENJELANG TAMAT. TERIMA KASIH ATAS VOTENYA DAN MEMBACA SAMPAI KE TITIK INI❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...