Naura memasukkan nasi goreng ke dalam mulut, sekarang dia kini berada di indekos Lovia. Mendengarkan setiap ocehan sahabatnya itu dan semua ini dia yang memulai padahal dirinya sebatas bertanya nama laki-laki itu, namun reaksi Lovia luar biasa heboh.
"Lo kangen ya sama Raihan?! Udah, jangan gengsi. Dua hari lalu juga Raihan nanya tentang lo, katanya penasaran hubungan lo, Ra. Sama Kak Alta," ucapnya.
Naura melotot. Entah kenapa kedua pipinya perlahan memanas, bukan soal Kak Alta tapi tentang ucapan Lovia yang mengatakan jika Raihan kangen padanya. Hatinya berdesir hangat, persis perasaan bersama Abian dulu padahal Naura belum lama mengenal Raihan.
"Kamu serius?"
"Yes, menurut gue secepatnya lo harus sembuh dari trauma itu. Ya walaupun Raihan termasuk kalangan buaya tapi nih gue beneran liat kesungguhan Raihan sama lo, Ra. Semacam udah tobat dan dikasih hidayah." Lovia berujar mengebu.
"Jangan aneh deh. Aku nggak pernah trauma kejadian sama Abian itu, hal bodoh yang aku lakuin. Sekarang aku udah mencoba buat lupa," sahutnya.
Jawaban Naura yang mengatakan dirinya bodoh membuat Lovia mengacak rambut frustasi Naura melihat itu keheranan, tanpa diduga kedua tangan Lovia sudah di atas bahu Naura lalu tubuhnya terguncang pelan.
"Ini salah Abian kampret, sialan! Sekali lagi bilang bodoh gue tebas kepala lo, Ra. Serius! Kelamaan gue yang sinting!" ucap Lovia tegas.
Naura menipiskan bibir baru saja hendak menyingkirkan tangan Lovia bunyi dentuman keras terdengar di luar. Lovia lebih dulu tersadar langsung berdiri, berjalan keluar kamar sembari berkacak pinggang. Naura mengekori di belakang.
Di sana tiga orang laki-laki tengah saling dorong lebih tepatnya dua orang sementara yang satunya sedang melepaskan sepatu.
Naura tertegun sejenak, intinya sekarang dia harus berbalik badan kembali memasuki kamar. Jangan sampai orang itu menyadari jika dia kini di rumah Lovia walaupun ada sisi lain dirinya ingin bertanya apa Lovia seakrab itu pada Raihan bahkan dengan berani masuk rumah tanpa permisi.
"Kalian itu nggak ada sopan santun sama sekali ya kecuali Nikan, liat dia lepas sepatu." Lovia menendang kaki Danika dan Raihan bergantian. "Dan lo masuk rumah gue ketuk pintu bukan dobrak," lanjutnya menunjuk Danika.
Laki-laki blasteran itu berdecak kesal balas menendang kaki Lovia, kini tangan Lovia sudah terulur menjambak bruntal rambut Danian. Siang panas begini rasanya seperti neraka dan sekarang Danika perwujudan iblis. Nikan melirik sekilas lebih sibuk pada ponsel, kedua telinganya menempel headset duduk bersandar. Sampai tidak menyadari jika satu sahabatnya kini berjalan memasuki kosan lebih dalam, menuju dapur.
Naura meneguk minuman dingin dibotol yang tengah dia pegang. Belum sempat Naura menutup pintu kulkas suara berat itu membuatnya berjengit kaget.
Jika Naura berhasil kabur maka sekarang Raihan berhasil mengejarnya, padahal Naura berusaha kuat ketika melangkah tidak menimbulkan suara.
Seharusnya opsi pertama dia berada di kamar itu memang benar, namun karena tenggorannya mendadak sakit Naura memilih berbelok.
"Dua bulan kita nggak ketemu sedekat ini, tapi kata Lovia lo sadar gue ngawasin lo dari jarak jauh," ucapnya.
Raihan tersenyum tipis, mendekat pada gadis berkaos lengan pendek itu. Tidak ada lagi lebam ditangannya kondisi Naura lebih baik daripada Raihan bayangkan bahkan kejadian dua bulan lalu seakan insiden bunuh diri itu terlupakan.
"Gue lebih suka lo tanpa jaket kecuali hujan, dingin. Cuaca panas malah bikin lo keringetan, Ara."
Naura mengangguk kaku hanya mengamati dalam diam dengan baik hatinya Raihan menutup pintu kulkas, sikap angkuh laki-laki itu mulai kepermukaan. Naura berdecak kesal, telinganya bisa panas jika terus mendengarkan.
"Lo bosan."
"Iya, ponsel aku ketinggalan di kamar. Kamu bisa ngobrol sama tembok, jangan sampai aku menyuruh menjauh lagi alasan karena kamu cerewet." Naura menyahut ketus.
"Gue kira lo kangen sama gue." Raihan menghalangi gerakan Naura, kedua tangannya berada di sisi Naura hingga tubuh mungil itu tidak bisa bergerak, terhimpit pada kulkas.
"Kangen?" Naura tertawa pelan. "Apa yang aku kangenin dari kamu, Rai. Niat selama ini menuju pulang semuanya gagal dan penyebabnya itu kamu."
"Pulang bukan berarti harus bunuh diri." Raihan membalas tajam. "Kalau lo bertanya siapa gue? Kenapa kepedulian gue besar sama lo? jawabannya kita pernah bertemu di masa lalu, giliran gue sekarang menyuruh lo memaksa untuk ingat. Tentang Raihan Dipran."
Naura menelan ludah susah payah, kemungkinan dia memang mengenal Raihan sejak lama, namun Naura terlanjur lupa atau mungkin setiap dia sedekat ini Naura tidak pernah merasa asing.
Entah kapan Naura ingat bagian memori dia berkenalan pertama kali dengan Raihan bukan saat keduanya bertemu di taman.
"Apa aku boleh tanya sesuatu?"
"Tentu."
"Soal Lo--"
"Gue dan Lovia sebatas temenan, gue bahagia kalau misalnya lo cemburu walaupun secuil. Boleh sih nggak percaya, cukup tanya Danika. Kita bertiga dulu temenan sejak SMP." Raihan menyela, lesung pipinya tercetak jelas. Raihan seakan bisa menebak pikiran Naura.
"Kamu cenayang?" Naura bertanya syok dan yakin sekarang wajahnya berujung merah padam.
Raihan terbahak, jemarinya kemudian bergerak menyingkirkan rambut hitam Naura yang menutupi sebagian wajahnya.
"Janji seorang Raihan Dipran selalu ditepati, I love you, Ara. and this feeling will always be there. You will be completely mine, the real place to return home."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Fiksi RemajaNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...