[41] Pencinta Hujan

806 85 2
                                    

Berdiri berteduh di bawah kanopi tidak pernah terbayangkan untuk Naura, di belakang rumah Kak Neon dan Kak Dara ada taman kecil karena terlalu penasaran, tidak menyadari akan datangnya hujan. Naura berlama-lama duduk hampir memejamkan mata, jika saja suara air hujan berjatuhan tidak membuatnya kaget.

Sudah dua minggu pernikahan mereka, tapi kehidupan diperutnya ini memasuki satu bulan. Sudut bibir ranum itu melengkung ke atas sembari tangannya mengusap perut, Naura tak takut sendirian menunggu hujan teduh. Yang dicemaskan orang-orang rumah, mereka tidak mengetahui jika dia di sini sekarang.

Raihan?

Suami menyebalkannya itu bekerja diperusahaan Kak Kiara, sempat mengeluh atas Kak Kiara menempatkan Raihan dibagian pemasaran padahal menurut Naura itu lebih baik daripada cleaning service. Kalau pun Raihan cleaning service, dia tetap bangga asal kan pekerjaan halal Naura menerimanya.

Menikmati guyuran hujan Naura terganggu, saat samar-samar mendengar teriakan semakin mendekat teriakan serak itu berubah nyaring dan Naura mengenalnya.

"Raihan..."

Naura menoleh terperangah sebentar, laki-laki itu berjalan menghampiri dengan langkah hati-hati sembari memegang payung, pakaiannya masih sama dengan tadi pagi hanya saja kemeja kotak-kotak itu terlihat basah.

"Kamu ngapain di sini?!" Tepat ketika berhadapan Raihan tanpa sadar membentak, raut wajahnya menunjukkan cemas hampir hilang akal mendengar kabar dari sepupunya itu, jika Naura hilang.

Gadis berpiyama putih tersebut menutup bibir rapat membiarkan Raihan memeluknya, dapat dia rasakan tubuh ini bergetar.

"Aku takut, Ara. Kamu kenapa-napa ... cukup orang tua aku." Raihan berkata lirih. "Ada orang yang harus aku jaga, kamu dan anak kita." Pelukan Raihan berlangsung lima menit.

Naura membalas tatapan Raihan dengan mata berkaca-kaca, terakhir Raihan meneriakinya saat di kamar, itu pun sudah lama. Di mana dia mencoba bunuh diri. Naura tidak marah, tapi hatinya tiba-tiba sakit padahal mungkin menurut orang lain sebatas sepele.

"Maaf..." Kedua tangan Raihan menangkup pipi Naura, melihat istrinya menangis seakan ada yang menjepit jantung Raihan.

Sekali pun Naura mengiyakan Raihan tetap merasa bersalah hingga duduk bersebelahan menikmati guyuran hujan semakin deras, tidak ada yang mengeluarkan suara. Kelopak mata Raihan terpejam, dadanya lebih sakit mendengar isakan Naura yang Raihan tau gadis itu berusaha menghentikannya.

Raihan kembali menarik Naura untuk bersandar di bahunya, jemari itu bergerak merapikan rambut hitam Naura.

"Aku belum kasih tau kenapa aku suka hujan, sekarang aku bakal ungkapin alasan kenapa aku suka hujan. Raihan Dipran si pencinta hujan," kata Raihan.

Sama sekali tidak ada respon Raihan tidak menyerah, melanjutkan ucapannya.

"Mendiang mama suka hujan, kalau papa beda malah nggak suka. Papa itu gampang sakit, kena air hujan aja langsung sakit." Raihan tersenyum cerah mengingat kenangan indah orang tuanya, kepergian mereka membuat Raihan saat itu terpuruk namun semuanya berhasil Raihan lalui.

"Aku enggak sakit kena hujan, yaudah pas mama hujan-hujanan aku ikut walaupun sering dimarahin. Cukup jeweran telinga, terus rumah isinya udah teriakan aku."

Raihan tergelak begitupula Naura, masih banyak kenangannya bersama sang mama dan papa, jemari Raihan kemudian menautkan jemarinya dengan Naura. Sepertinya Naura sudah membaik.

"Aku minta maaf."

"Harusnya aku yang minta maaf."

"Kenapa malah istri Raihan yang minta maaf kan ini salah si suami."

"Iyain aja deh."

Raihan tertawa sambil menarik gemas pipi Naura. "Sekarang aku tanya lagi, kamu beneran gak mau apa gitu? Ibu hamil biasanya ngidam. Aku sodorin apa aja pasti kamu makan."

"Termasuk kamu kasih aku papan, aku makan juga gitu." Naura berdecak kesal. Gerakan cepat Naura menggeser duduknya menyadari cowok tampan ini berniat mengusap perutnya. "Nggak boleh! Aku masih marah."

*****

"Kamu jangan canggung ya sama kita, wajah Neon emang serem udah dari sana. Keluar rumah harus izin dulu," ucap Kiara menatap Naura yang duduk di atas karpet menemani Kahfi sedang memainkan mobil-mobilan.

"Maaf, Kak." Naura tersenyum, tidak berdalih jika memang dia belum akrab terhadap Kak Neon, sebelum ke taman pun Naura melintas di ruang tengah hanya melirik kakaknya Raihan itu sibuk berkutat dengan laptop dan Naura tidak ingin mengganggu.

Neon baru datang lalu duduk di sebelah anak laki-lakinya itu, Kiara terus dibiarkan akan mengatakan hal aneh lagi tentangnya.

"Kamu sudah menjadi bagian keluarga ini, Ara. Ada yang nggak kamu suka cukup bilang sama saya atau yang lain," ujar Neon.

"Aku selalu nyaman di sini dan tentu aku suka, kalian memberikan kebahagiaan yang jarang aku temui," jawab Naura tulus.

Kini Neon memangku Kahfi, mengamati setiap interaksi anaknya bersama istri sang adik. Bagi Neon kehadiran Naura membuat sikap adiknya menjadi lebih baik, Neon tau. Raihan dan Naura memiliki luka masing-masing yang ingin disembuhkan, tidak hadir salah satu semuanya tak lengkap.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang