Naura merasakan telapak dingin seseorang menepuk pipinya, bolehkan dia berharap jika itu Darel? Namun, harapannya berganti tersenyum pahit. Naura bersandar di bantu laki-laki yang mengenalkan dirinya itu sebagai Dafa.
"Nona baik-baik saja, kan?"
Dengan tangan gemetar Naura menyingkirkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya.
"Aku mau pulang."
Dafa mengerutkan kening, tidak menyangka keluarga yang selalu dikatakan orang lain di luar sana harmonis ternyata kebalikkannya, putri keluarga Hayden bagaikan teranggap parasit. Pantas sebelum Dafa diterima surat berjanjian sedikit aneh.
"Nona Ara harus di bawa ke rumah sakit sekarang. Kondisi Non--"
"Gak perlu." Naura menggeleng lemah, sepasang mata coklat madu gadis itu menatap tangannya yang mulai memar saat itu pula air bening kembali tumpah membasahi wajahnya. Cara Naura menangisi badannya justru salah karena goresan di pipi semakin perih.
"Aku mau pulang..."
Seluruh tubuhnya benar-benar sakit. Bolehkah Naura berharap saat ini Tuhan menjemputnya? Kata sementara tidak pernah hadir. Naura merindukan sosok sang mama yang memberikan kebahagiaan secara tulus walaupun penuh kesenderhanaan.
Pemuda yang sedari tadi sisi Naura hanya diam, membiarkan gadis anak majikannya itu menangisi semuanya dan secara tak langsung malam penuh cahaya purnama Dafa menjadi pendengar setia Naura. Raut wajahnya tak pernah pudar rasa khawatir.
Hingga namanya di sebut Dafa mendongak, menyalami lebih dalam binaran redup itu.
"Apa aku harus nyerah, Kak Dafa?"
Dafa tersenyum tipis kemudian kedua tangannya terangkat menyingkirkan rambut Naura ke belakang daun telinga.
"Jangan nyerah, ada yang bilang setelah kita menangisi semua kehidupan yang terlalu menyedihkan setelahnya akan hadir kebahagiaan, tapi kamu harus tau sedih dan bahagia itu pasti ada."Senyuman di bibir itu semakin lebar.
Naura tertegun sesaat. "Terus kenapa papa jahat? Aku beneran anaknya, mama pernah bilang itu." Tidak mungkin selama ini Mama berbohong semuanya pasti, saat satu tahun lalu Darel kecelakaan dan Naura lah yang mendonorkan darahnya.
"Kondisi Nona sudah parah, jika dibiarkan bi--"
"Aku gak suka rumah sakit." Naura menyela kembali menatap memelas pada Dafa. Tempat itu lah yang selalu Naura habiskan dua tahun terakhir bersama sang mama di saat umurnya tujuh tahun dan tempat itu juga yang dimata kehidupan sang mama menghilang.
Dafa berpikir keras, bagaimana sekarang? Apa yang harus Dafa lakukan Naura terlihat membenci tempat itu? Setiap detik berlalu darah mengalir dari kening Naura, ditambahi napas gadis tersebut yang mulai putus-putus dan tangannya terus mencengram dada kirinya.
"Saya punya teman kebetulan dia dokter," ucap Dafa kemudian menepuk punggungnya setelah membelakangi Naura. "Saya tau Nona pasti risih jika saya menggendong dari depan!" lanjutnya.
Naura mengembuskan napasnya pelan, sedikit ragu. Satu nama memenuhi pikirannya. Dia harus bertahan... mereka sudah saling berjanji. Naura memang butuh waktu, tapi dia percaya rumah yang sebenarnya adalah tempat itu dan kebahagiaannya di sana. Kedua tangan Naura melingkari leher Dafa bersamaan matanya yang mulai berat lalu kegelapan menyelimuti.
*****
Gadis berpakaian santai tersebut mencoba menenangkan Raihan diikuti dua orang di sisinya.
Nikan menahan sofa yang nyaris di angkat Raihan, kosan Lovia sudah berantakan. Kemarahan di raut cowok tampan itu tidak bisa dikendalikan. Lovia yang selalu bermulut ceweret pun kali ini merinding berlindung di balik punggung Danika.
"SEHARUSNYA LO BISA TAHAN TUA BANGKA ITU BAWA ARA, KENAPA LO BIARIN AJA, BEGO! APA LO MENJAMIN ARA GAK AKAN TERLUKA!" bentak Raihan.
Lovia menipiskan bibir sembari memeluk lengan Danika. "Gimana gue tahan Ara kalau mukanya keliatan banget dia bahagia dijemput papanya. Terus pengawal Om Darel juga ikut," sahutnya.
Raihan berbalik sepasang matanya mengarah tepat pada Lovia, urat dilehernya menonjol. Rambut hitam itu berantakan, Nikan mulai was-was jika Raihan akan menyakiti Lovia.
"Ara bahagia?"
"Iya, saat lo diposisi gue, Rai. Gue yakin lo pasti bakal biarin Ara ikut papanya."
Raihan terdiam hingga ruang tengah tersebut bisa kembali tenang. Sekarang keempatnya duduk melingkari meja, Lovia dan Danika yang tak pernah akur lebih banyak diam. Nikan yang memulai pembicaraan dengan cara mengetuk meja.
"Jadi, harus gimana?"
"Gue pengen jemput Ara dan kalian bertiga harus ikut." Raihan menyahut penuh penekanan tetap menunduk.
Jika Naura tinggal di tempat itu maka Naura akan terluka yang Raihan simpulkan. Sayangnya Naura masih terikat di rumah itu, satu agar Naura terbebas jawabannya... menikah.
Belum sempat Raihan beranjak perkataan Nikan membuatnya tertegun sejenak.
"Lo marah atau sedih sih? Nangis segala," katanya. Danika dan Lovia tersentak kaget sementara Raihan langsung mengarahkan telunjuknya di sudut mata, nyatanya Nikan tak berbohong. Raihan menangis tanpa alasan yang jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...