[56] Dua Garis

797 77 1
                                    

"Makanannya enggak enak!" Mendengar itu, Mbak Anis yang hendak menuangkan minuman terhenti sementara Raihan tersedak. Berharap salah dengar, apanya yang tidak enak? Setau Raihan nasi goreng dijadikan sarapan tiap pagi ini termasuk makanan kesukaan Naura.

"Maaf, No--"

"Ini enak, Yang. Biasanya kamu yang paling banyak makan. Ada sosisnya." Raihan dengan sengaja menyela ucapan Mbak Anis, jangan sampai Mbak Anis salah paham apalagi Naura mengatakannya sambil membanting sendok.

"Lidah kita beda-beda, kamu gak bisa maksain aku suka sama nasi gorengnya. Kebanyangkan bawang goreng," sahut Naura kesal.

Raihan tersenyum kemudian bangkit memilih duduk di sebelah istrinya ini, mungkin kode Naura minta disuapi tadi malam pun Naura tidak makan sebatas menghabiskan setoples biskuat coklat untuk itu Raihan menyuruh Mbak Anis membuatkan nasi goreng lebih daripada hari sebelumnya.

"Yaudah, aku suapin. Kamu gak suka bawang goreng bentar aku sisihin dulu." Raihan berkata lembut sambil mengelus rambut panjang Naura.

Iris cokelat madu tersebut memandangi lekat wajah Raihan, hati Naura menghangat. Raihan selalu sabar, selama menikah tidak pernah mengecewakan kalaupun pernah itu salah paham dan keduanya kembali baikan.

Menikah muda? Tidak gampang, pasti ada saja masalah. Masalah kecil pun sering membuat percikan api menjadi besar, salah satu harus mengalah. Itu yang Naura dapatkan setelah keduanya tinggal bersama.

Secara naluri Naura membuka mulut nasi goreng di sodorkan Raihan menggunakan sendok, namun entah kenapa Naura berusaha menelannya benar-benar tidak enak. Dia ingin muntah, gerakan istrinya mendadak berdiri menimbulkan reaksi kaget Raihan dan Mbak Anis.

Naura berlari menuju dapur lebih tepatnya ke arah wastafel, perutnya seakan ada yang melilit. Kedua tangan itu bertumpu, badan Naura lemas. Sudut matanya berair dengan hidung memerah.

"Yang, kenapa?" Raihan mendekat setelahnya sebelah tangan Raihan menahan Naura yang hampir limbung.

"Perut aku nggak enak." Naura berbalik badan, melingkarkan kedua tangannya dipinggang Raihan. Terisak pelan, jujur Naura lapar. Di sisi lain dia takut muntah.

Sambil memeluk Naura, Raihan berjalan ke arah kursi di samping kulkas lalu mendudukkan Naura di sana, Raihan beralih berjongkok.

"Aku lapar..."

Raihan tegang.

"Yaudah, kamu mau apa? Nanti Mbak Anis buatin aku juga bakal bantuin."

Dengan tangan sedikit gemetar Raihan membersihkan bibir Naura.

"Perut aku sakit, Rai." Naura berkata lirih, keningnya berkerut sambil bersandar di kursi. Air bening jatuh membasahi pipinya, berharap Raihan tidak mengatainya cengeng.

Raihan menelan ludah kejadian ini seperti dejavu yang membedakan perut istrinya lapar, Raihan terus merayu Naura untuk makan namun Naura menolak.

"Kamu mau makan nasi liwet?"

"Martabak manis?"

"Sosis bakar atau telur gulung?"

"Ayam geprek?"

"Minumannya es doger?"

Mbak Anis memijit belakang leher gadis yang sudah dia anggap anaknya ini, ikut cemas. "Nona, lebih baik anda makan. Jangan takut muntah itu hal biasa, siapa tau Nona hamil biasanya itu sering terjadi," katanya.

Naura membuka mata, membalas tatapan Mbak Anis begitupula Raihan memasang raut kaget. Hamil? Bagi Naura itu kemungkinan kecil terjadi, ini bulan ketiga Naura kehilangan bayi perempuannya dan harusnya Raina telah lahir dalam keadaan sehat.

"Beneran, Mbak?" tanya Raihan memastikan. Jantungnya berdebar-debar, Naura tidak terlalu berharap. Takut dugaannya salah berakhir mengecewakan maka sebaliknya Raihan mengingat pembalut sang istri di laci.

"Dulu Mas Raihan pernah bilang sama saya sisa uang belanja beli testpack buat jaga-jaga. Kita bisa liat hasilnya melalui itu," jelas Mbak Anis.

"Aku nggak mungkin hamil, kita kehilangan Raina udah tiga bulan bukan berarti aku hamil. Sebatas tanda-tanda muntah bukan hamil, Rai!" bentak Naura. Susah payah Naura berdiri, berjalan sempoyongan keluar dapur. Kenapa Raihan terus berharap? Sekali lagi Naura tidak ingin berakhir kecewa.

Raihan menelan ludah lalu mengusap wajah, tersenyum gentir. Tidak semudah itu membiarkan Naura pergi, intinya Naura harus mencobanya. Akan segala cara Raihan lakukan agar Naura menurut sekali pun dengan pemaksaan.

"ARA!" Akhirnya kesabaran Raihan habis. Mbak Anis yang baru menyusul terperanjat belum sempat melindungi Naura, gadis itu lebih dulu ditarik Raihan. "KAMU KERAS KEPALA, CUKUP NURUT! INI PERMINTAAN!"

Badan Naura gemetar hebat tidak dibiarkan berbicara Raihan memegang pergelangan tangan Naura, menyeretnya ke kamar.


*****



Naura bersandar di tembok kemudian mengulurkan testpack yang sudah dicobanya itu ke Raihan, sesuai permintaan. Dia tidak mengerti benda strip tersebut, tak berbeda jauh Raihan bersikap sama.

Setiap ekspresi suaminya Naura mengamati lekat, dada kirinya sakit. Ini terlalu biasa hampir setiap dia kambuh Naura merasakannya, namun kemarahan Raihan tadi dan berteriak di depannya lebih sakit.

"Dua garis, tapi aku nggak paham maksudnya." Raihan mendogak, air mukanya berubah. "Yang, kamu kenapa?" Kedua tangan Raihan menahan kembali tubuh Naura jika Raihan terlambat Naura akan  menghantam lantai.

"Ara, buka matanya!" Raihan mendesis khawatir, kelopak mata itu telah tertutup rapat. telinganya mendengar napas Naura yang mulai putus-putus selama itu pula Raihan ketakutan. "Aku minta maaf, please. Buka matanya!"






*****

Rai kamu jangan kasar, Ara takut. Gimana sama part ini? Semoga suka :)

Ramein vote dan komennya ya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang