[47] Kegilaan Gemina

663 73 4
                                    

SELAMAT MEMBACA❤
PART INI BIKIN EMOSI :")

------


Hari kelima di rumah baru, Naura sendirian. Kompleks perumahannya di siang hari memang sepi, rumah tetangga di samping tidak berbeda jauh. Raihan mengatakan nanti akan bertamu ke sana, tapi belum ada waktu yang pas sebab akhir-akhir ini Raihan cukup sibuk.

Naura duduk di sofa sambil memainkan ponsel, jemari itu bergerak lincah mengirim pesan pada suaminya.

Naura: lagi santai

Raihan: setelah makan siang nanti aku izin ke kak kiara pulang cepet

Naura: jangan, aku gak papa sendirian di rumah

Raihan: kamu udah makan?

Naura: udah, tadi gofood

Raihan: gak boleh keseringan

Naura: iya, aku malas masak

Raihan: I love you ara, suaminya mau makan siang dulu. Aku gak centil  sama pegawai perempuan yang kak kiara bilang itu boong

Naura: aku percaya, palingan mereka yang centil bukan kamu

Tulisan online kemudian menghilang, Naura tersenyum geli menggeser chat ke atas. Membacanya meninggalkan kesan jijik bagi Naura, tak menyangka dia bisa membalas setiap gombalan Raihan.

Naura hendak memejamkan mata tersentak mendengar bel rumah berbunyi, dia bangkit dari duduknya sebelum itu meletakkan ponsel ke atas meja. Lovia pernah mengatakan ingin melihat rumahnya.

"Kamu udah kal---" Pintu terbuka lebar, suara Naura tertahan di tenggorakan. Siapa yang berdiri kini tengah tersenyum lebar, mendadak tubuh Naura bergetar.

"Apa kabar, Kak Ara?" Gadis berseragam putih abu-abu tersebut melambaikan tangan walaupun belum diizinkan masuk dia melangkahkan kakinya dengan santai memasuki rumah.

"Baik. Gemina, kamu bolos?" tanya Naura. Pasalnya SMA Bintang jam setengah tiga bel pulang barulah berbunyi.

Naura mengikuti adik tirinya itu, bertanya-tanya darimana Gemina tau alamat rumahnya.

"Iya, gue bolos." sahutnya. Langkah Gemina memelan kemudian berbalik menghadap Naura. "Ck, lo beneran hamil. Gue kira cuma prank! Itu anak enggak mirip mamanya, kan? Anak di luar ikatan pernikahan," lanjut Gemina menohok.

Naura tertampar keras apalagi mendengar tawa Gemina, lidahnya kelu.

"Sampah kaya lo itu, Kak. Mana pantas bahagia. Nyokap lo aja pelacur!" desis Gemina disela tawa.

"Lebih baik kamu keluar dari rumah aku, tujuan kamu hanya untuk menghina orang lain lebih baik pergi." Akhirnya balasan itu yang keluar dari bibir Naura, dia akan marah ketika mamanya di hina. Naura tetap tahan jika itu dirinya, namun tidak untuk mendiang mama.

Gemina melirik sekilas, seakan sama sekali tidak terpengaruh setelah mengitari lantai satu. Gemina lalu menaiki tangga, belum sepenuhnya sampai ke tujuan Gemina mendadak berbalik sadar kini tengah dibuntuti.

"Rumah ini beneran luas. Kenapa sih orang kaya lo bahagia, gara-gara lo keluar dari rumah gue nggak punya mainan lagi," desis Gemina mengeram kesal sambil berjalan mendekat.

Naura melihat itu, kakinya kembali bergetar. Sepertinya pilihan mengikuti Gemina adalah suatu kesalahan, seharusnya Naura memilih membiarkan adik tirinya itu bersikap semaunya. Pegangan Naura di sisi tangga semakin mengerat.

PLAK!

Panas.

Pipinya tiba-tiba nyeri, hingga sekarang Naura tidak tau letak kesalahannya terhadap Gemina. Naura butuh bantuan, ketakutan menyelimuti! Dia dipaksa mengingat kejadian di kamar, Gemina yang nyaris membuatnya sekarat pada waktu itu.

"LO ITU MANA PANTAS BAHAGIA, PANTASNYA JADI MAINAN GUE!" teriak Gemina tepat di wajah Naura, senyuman gadis tersebut puas ketika melihat air mata akhirnya menetes.

Naura ingin meraih hapenya di atas meja meminta bantuan, tapi jika dia melangkah apakah semuanya akan baik-baik saja?

"Aku minta maaf," jawab Naura lirih sambil menangkup kedua tangan, wajah Naura memerah. Dia ingin berteriak, namun suaranya seolah tertelan.

"Lo takut?" Gemina setengah membungkuk, tangannya mengusap perut buncit Naura. "Kak Ara nyuruh aku pergi, kan? Kenapa Kak Ara aja yang duluan pergi sekalian sama anak tersayang Kakak ini," gumamnya datar.

Gemina memiringkan kepala, sudut bibirnya terus melengkung ke atas saat itu pula Naura yang memegang erat pegangan tangga mengendur. Kuciran rambutnya di tarik paksa, Naura berusaha berontak dengan cara menendang kaki Gemina. Berhasil, tiga detik berikutnya Gemina membalasnya lebih kuat.

"Sakit, sialan! Jangan balas setiap perlakuan gue sama lo! Karena itu buat lo makin tersiksa!" serunya.

Pertahanan Naura hancur.

Jujur, ketakutannya semakin bertambah. Kakinya sudah tak bisa lagi berdiri, Naura mencoba mempertahankan. Sebelah kakinya salah pijakan tangga, dan tindakan Gemina mendorong bahunya membuat Naura pasrah.

Bergulungan, kedua tangan Naura melindungi kepalanya yang berakhir di lantai keramik. Suara bugh lumayan keras. Sayang sekali dia memang berhasil melindungi kepalanya, tapi tidak dengan sesuatu lebih berharga.

Naura mengatur napas, meringis sakit memegang perut. Sakit luar biasa sakit, Naura tak tahan. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.

"S-sakit, Gemina..." Kepala Naura mendogak, adik tirinya itu menuruni tangga. Ekspresi di wajah itu tidak Naura mengerti, sisakan rasa peduli Gemina padanya walaupun secuil.

Air mata Naura semakin deras menatap linglung darah yang membasahi lantai, bibir ranum itu tidak berwarna lagi, rambut Naura berantakan. Dress selutut yang melekat di tubuhnya banjir keringat.

"Bawa aku ... ke rumah sakit." Tangan Naura terulur, memelas. Sesuatu dipikirannya tak boleh terjadi, setiap detik berlalu perutnya lebih sakit seakan ada yang hendak keluar di bawah sana.

Gadis berambut sebahu tersebut berjongkok di samping Naura lalu menyahut pelan. "Sori, kebahagiaan gue suka liat mainan gue kesakitan. Udah gue bilang lo yang pergi bukan gue."

Tidak ada pilihan apapun, mengambil napas dan mencoba memikirkan hal baik. Jangan memedulikan soal darah, Naura berjalan tertatih-tatih ke arah meja. Langkah keenam Naura jatuh, punggungnya sakit seperti sebentar lagi akan patah.

"Kamu nggak boleh bikin Mama takut..." Telapak tangan Naura mengusap perut buncitnya, cairan kental itu meninggalkan jejak setiap Naura melangkah. Dia duduk kembali di lantai memperbanyak genangan darah, Naura mengulum bibir.

Raihan?

Permintaan maaf.

Dia tak mampu menjaga dengan baik.

"ARA!"

Panggilan itu Naura kenal, suara derap langkah kaki berlari yang pasti melebihi satu orang.

"Anjeng, lo ngapain?" Danian mengumpat, pandangan matanya jatuh ke Gemina yang tetap berdiri santai, raut wajahnya tidak terpengaruh.

Lovia dan Nikan berlari menghampiri Naura, perasaan bingung dan marah bercampur aduk. Lovia menggenggam erat tangan Naura, membantunya bersandar di belakang sofa.

"Sa-sakit." Naura mengerang, matanya harus tetap terbuka, namun itu justru membuat Naura sangat kesakitan, dia lelah. Kakinya lemas, punggung hingga paha Naura panas bercampur nyeri.

Nikan menyambar cepat ponsel yang sedari tadi terus menyala di meja, jika Nikan berada di dekat kedua orang itu bukan lah tepat, sementara Lovia menelan ludah sembari berpindah duduk, kedua tangannya membuka paha Naura kemudian menyibak dress itu. Sesuai Lovia duga, sahabatnya ini mengalami pendarahan. Bukan, tidak hanya pendarahan. Lovia melihat itu terkejut, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.

Naura merintih ngilu, gerakan Lovia itu semakin membuat perutnya sakit. Naura tau Lovia ingin membantu.

"Lo pasti kuat," gumam Lovia sembari meraih pergelangan tangan Naura, memegangnya erat.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang