[7] Pluviophile

1.3K 128 7
                                    

Naura menyatukan telapak tangan, menggosok pelan. Berharap membawa kehangatan. Rintik hujan semakin deras berjatuhan di jalan aspal. Kini dia tengah duduk di halte dekat SMA Bintang bukan sendirian, namun bersama seseorang yang menemaninya. Tepat malam ini setelah perselisihan terjadi Naura menarik Raihan agar menjauh dari Gian. Bisa saja nanti keduanya berakhir saling baku hantam jika terus dibiarkan.


"Gue kalau liat hujan hati berasa tenang. Beban gue itu seolah mengalir entah ke mana." Perkataan Raihan memecah keheningan diantara keduanya sembari telunjuk itu mengarah tepat ke sebrang.

Menurut Naura itu lebih tepat disebut kubangan. Mana ada mengalir, kecuali mengalirnya di selokan.

Mendapati gadis di sampingnya hanya terdiam Raihan berdecak kesal walaupun begitu dia tetap meneruskan ucapannya.

"Nggak jadi jalan-jalan, hujan. Untung kita lewat sini ... tapi nggak papa lah gue suka hujan." Raihan tersenyum lebar, matanya menyipit dan lubang kecil di kedua pipinya terlihat jelas.

"Kamu udah bilang itu selama empat kali," sahut Naura. Raihan tertawa pelan kemudian berdiri, satu tangannya terulur maju membiarkan guyuran hujan membasahi tangannya.

Naura mengamati lekat setiap tindakan yang dilakukan Raihan, dari sebelah kakinya yang terayun pelan sampai berjinjit. Percikan air ikut membasahi rambut hitam Raihan.

"Gue tau orang kaya lo cuma baik-baik aja dipermukaan, jangan dipendam pasti sakit. Salurin aja, gue bakal jadi pendengar setia," ucapnya melirik Naura yang kini berdiri di sebelahnya.

Raihan merasa ada keakraban tersendiri, netra coklat madu dan binarannya sangat familiar. Apa keduanya pernah bertemu? tapi dia kesulitan dalam mengingat seseorang.

"Gimana bisa kamu ada di taman satu minggu yang lalu bahkan sok bijak."

"Gue lagi tiduran dekat pohon terus denger cewek teriak-teriak panggil pacarnya sambil nangis. Eh, gue malah kebangun. Ganggu sih."

Naura menarik napasnya mengembuskan pelan, merutuk kecil seharusnya ia tidak berbicara seperti tadi dan Raihan tengah menanti jawaban.

"Aku takut ditinggal sendirian jadi refleks teriak," sahutnya asal.

Respon Raihan membuat gadis berambut panjang itu mendelik kesal, suara tawanya semakin nyaring karena memandangi wajah cemberut itu. Mendadak, tangannya terulur begitu saja mencubit gemas pipi bulat Naura.

"Dasar aneh. Tentang lo gue harus tanya sama Lovia."

Naura menepis pelan membalas tatapan Raihan tajam. "Kamu jangan pernah ikut campur urusan pribadi aku, lagi pula itu sia-sia."

Raihan mengedikkan bahunya tak peduli. Sifatnya yang keras kepala tetap akan tujuannya walaupun Naura menolak dia akan tetap mencari tau.

Belum sempat Naura berbalik badan untuk kembali duduk pergelangan tangannya digenggam, Naura tidak perlu menebak. Napasnya tercengat, merasakan hal aneh bersamaan tubuhnya menegang.

"Gue yakin lo pasti bisa bangkit. Jangan sampai terkurung dalam kegelapan, ambil titik cahaya. Satu lagi kejadiaan pahit apapun itu nggak boleh dijadikan trauma," bisik Raihan tepat di samping telinga Naura sembari jemarinya merapikan rambut Naura.

****

Naura kira semua orang sudah tertidur setidaknya kini berada di kamar, namun yang dia lihat penghuni rumah tengah berkumpul. Lebih tepatnya sang papa berdiri di ujung tangga dan di belakangnya adik tirinya itu bersedekap.

"Kata Gemina kamu pergi sama cowok tapi bukan si bajingan itu! Sama siapa kamu perginya?" Darel mendekati Naura, nada suaranya terdengar dingin.

Kedua kaki Naura mendadak gemetar. Saat dia ingin membuka mulut pipi kirinya sudah ditampar keras. Bunyi 'plak' mengisi ruangan luas itu.

"Apa kamu akan mirip sama mama kamu?! Bisanya sebatas malukan saya. Alya benar-benar persis kaya kamu, Ara!" bentak Darel kemudian meraih lengan Naura.

Naura hanya bisa pasrah tubuhnya yang diseret paksa, ia bingung. Kenapa nama sang mama disebut, mamanya yang kini sudah pergi untuk selamanya.

Bibir Naura terkulum dalam, menahan diri agar tak berteriak kakinya terbentur guci terbuat dari keramik.

"Saya menyesal darah saya mengalir di kamu, selama ini menikahi Alya adalah sebuah kesalahan karena ia hamil di luar pernikahan dan sekarang harus menurun ke kamu." Darel berjongkok, mencengram kuat dagu Naura.

Air mata Naura mengalir deras seperti hujan satu jam yang lalu. Dia menyesal telah pulang, ingin sekali Naura mengatakan jangan pernah memukulnya dibagian wajah karena itu sama saja akan keluar pertanyaan dari mulut orang lain.

Tanpa perasaan kening Naura terbentur tembok, mendapat Darel yang hendak kembali menarik rambut Naura langsung terhenti dengan ucapan lirih itu.

"Ara, takut, papa. Jangan mukul lagi. Boleh yang lain. Kaki aja," ujarnya terisak pilu.

Darah mengalir di kening Naura bercampur air bening di pipinya. Dia kira sang papa menurut, namun justru sekarang pipinya ditampar kembali.

"Memang kamu siapa nyuruh-nyuruh, hah? Ini hukuman lain karena kamu bohong sama saya. Seharusnya tadi kamu bilang perginya bersama cowok selain si bajingan itu!" Darel meradang, urat dilehernya menegang.

Naura ingin sekali mengatakan jika hubungannya dengan Abian sudah selesai dan Raihan bukan lah seseorang yang sama seperti Abian, jelas berbeda. Rumit dan sakit Abian yang memaksa dirinya melakukan hal itu, tapi kenapa dia menerima akibatnya.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang