[57] Kesempatan

741 77 0
                                    

RAINA ANINDYA DIPRAN
BINTI
RAIHAN DIPRAN
LAHIR  : 12-09-2018
WAFAT : 12-09-2018



Laki-laki itu jatuh berlutut di samping makam bayi perempuannya. Dia melakukan kesalahan, kembali menatap Naura dalam keadaan terbaring lemah di rumah sakit. Di sisi lain Raihan bahagia, tapi kebahagiannya justru pilu saat Dokter mengatakan jantung Naura melemah.

Bahu Raihan bergetar, air matanya luruh membasahi nisan. Tindakannya tadi jelas menyakiti Naura bahkan tangannya sampai menyeret paksa Naura ke kamar.

Raihan jadi teringat ucapan Sila memakinya di rumah sakit.

"ARA HAMIL, TAPI KENAPA LO BEGO! SIKAP LO ITU JUSTRU BIKIN NAURA MAU KETEMU MALAIKAT MAUT."

Pertama kalinya Raihan mendengar Sila berbicara dengan nada santai. Mbak Anis sudah menceritakan semuanya ke wanita itu dan lagi-lagi Raihan menyesal.

"Raina, sayang. Bentar lagi kamu bakal punya adik! Maafin papa. Papa udah kasar sama mama...." Raihan berujar serak. Dia tidak peduli bagaimana Nikan dan Danika berdiri di belakang mungkin akan menatapnya aneh, menangis bukan lah hal memalukan apalagi bagi laki-laki. Apa Naura baik-baik saja? Raihan harap Naura bisa melaluinya.
 

Sementara Nikan menutup bibir rapat, terakhir kali melihat sahabatnya itu menangis dan untuk pertama kalinya di atap, menyumpah serapi Gemina dan sekarang Raihan seakan hatinya remuk, iris kelam itu mengartikan penyesalan paling dalam.

Nikan berjongkok di samping Raihan ikut memandangi nisan itu. "Untuk kedua kalinya gue liat lo selemah ini. Jangan merasa bersalah, Ara pasti sedih," ucapnya.

Raihan tertawa sumbang. "Gue jadi takut Ara nggak mau bicara lagi sama gue. Punya suami kasar mirip Papanya, itu di luar kendali. Gue bentakin Ara di depan mukanya."

"Lo salah." Suara Danika membuat keduanya menoleh, Raihan membalas tatapan itu dingin. Disaat seperti ini Raihan benci bercanda.

"Maksud lo apa? Gue nggak mau orang busuk kaya lo ada di makam Raina," sahutnya sinis.

Danika tidak peduli namun menunjukkan hapenya di depan Raihan. "Tadi Kak Kiara nelpon dan lo tau apa yang dia bilang, katanya bini lo udah sadar dan dia terus manggil elo, Raihan. Bego!"

Pemuda itu tersenyum masam. "Nanti kita keluar dari makam. Mulut lo baru gue sumpalin tanah."

Danika jelas tidak terima hendak membalas langsung terhenti saat Nikan menariknya menjauh. "Kita di sini udah satu jam, Rai. Lo harus percaya sama Danika, besok lo bisa ke sini lagi."

Dengan cepat pemuda berkacamata bulat tersebut berjalan lebih dulu sebelum itu melempar ponsel Danika ke Raihan sebagai bukti panggilan terakhir sepupu sahabatnya itu.

Kepergian keduanya dan memang benar setelahnya Raihan termenung. Itu berarti Naura sudah sadar, Raihan berharap Naura mau menatapnya dan tidak marah.

****

Selang oksigen masih terpasang di hidung gadis itu, kelopak matanya terbuka yang dia dapati seorang wanita duduk bersandar di kursi sedang memejamkan mata setengah jam lalu.

Mendadak hatinya kosong, dadanya sebatas sisa nyeri. Dia ingin tau bagaimana hasil testpact strip itu akan kah dia hamil atau justru kebalikannya.

"Rai ke makam Raina, jangan di lepas. Dokter bilang kamu perlu memakainya," ucap Dara menahan tangan Naura yang hendak melepaskan alat bantu pernapasannya. "Tadi Sila ke sini walaupun sebentar, awalnya aku bingung dia ngapain tapi terjawab pengasuh kamu yang ceritain."

Naura tertegun.

"Maafin sikap Raihan ya?"

"Sal--lah aku, Kak."

Wanita cantik itu menggeleng. "Bukan salah kamu, gara-gara Rai kamu kaya gini. Aku udah suruh Mbak Anis untuk tutup mulut biar Neon gak tau. Neon bisa marah penyebab kamu di rumah sakit adiknya."

Tidak.

Raihan tidak salah, bagi Naura rumah sakit telah menjadi temannya walaupun dulu-dulu Naura fobia tempat orang berobat ini, lebih memilih memeriksa keadaannya ke rumah dokter keluarganya.

Dara tersenyum hangat sambil telapak tangannya mengusap perut Naura dapat menangkap jelas wajah lugu itu menunjukkan kebingungan.

"Kamu hamil, kandungan kamu memasuki satu minggu. Kalian diberikan Tuhan kesempatan lagi," ungkap Dara.

Air mata Naura tanpa sadar menetes, tebakan Mbak Anis benar dan Naura tidak kecewa melainkan bahagia. Iris coklat itu memandangi liar ruangan.

"Raihan mana?!"

"Ra---"

"Kak Dara, kenapa Raihan ninggalin aku!" Naura menyela lalu meraih pergelangan tangan wanita di sampingnya kini, memegangnya erat.

Dara mencoba menenangkan yang ada Naura semakin histeris, Dara dibuat cemas.

"Tenang, Ara."

"RAIHAN NINGGALIN AKU, KAK. AKU CENGENG. RAIHAN GAK SALAH, ARA EMANG LEMAH! MAAF!"

Tangan Dara terulur penekan tombol darurat di dinding dekat nakas, susah payah menahan Naura berniat turun dari ranjang.

"Dokter bil--- berhenti, Ara!" Dara menegang, gadis itu berhasil turun namun saat Naura menuju pintu tubuhnya hampir berakhir di lantai karena Naura menginjak kakinya sendiri, jika tangan lain gagal menghentikan.

Rambut hitam Naura berantakan, wajahnya basah oleh air mata. Menangis cegukan, mendongak mengenal kemeja si penolongnya ini.

"Aku sayang sama kamu, Rai." Begitu saja Naura berakhir di pelukan Raihan, menangis sepuasnya. Dia lebih takut sangat takut, Raihan pergi menjauh.





*****

Tuh kan Ara hamil. HAMIL! Huhu... percaya sama aku pasti mereka punya kebahagiaan🙂

Ramein vote dan komennya ya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang