Meyakinkan diri Naura memilih kembali ke rumah. Tak ingin membuat Mbak Anis khawatir. Biasanya pengasuhnya sejak kecil itu sering heboh jika ia mendadak tidak ada di rumah.
Naura tak sendirian kini di belakang Raihan terus mengekori sesekali mengajaknya bicara. Naura hanya menjawab dengan gumaman, laki-laki yang di kenalnya ini bisa saja memiliki maksud lain.
"Kenapa kamu harus ikutin aku."
"Ini udah malam."
"Aku nggak takut, pertemuan ketiga kita ... kamu liat aku kan di minimarket. Padahal udah jam dini hari jadi jangan seakan kamu anggapnya itu sebagai alasan." Naura berbicara panjang lebar. Kekesalannya tidak lagi bisa dia tahan.
Raihan mengusap wajah. Gadis dengan rambut tergerai di hadapannya memang benar-benar cerdik seakan tahu Raihan mempunyai maksud untuk itu Raihan sekarang memilih jujur.
"Gue pengen ke rumah lo, serius demi apapun gue kaya kenal sama lo, Ra. Tapi sayangnya gue lupa," sahut Raihan.
"Buat apa?! Aku nggak kenal sama kamu. Kita ketemu tepat di taman!" teriak Naura mendogak sepasang matanya balas menatap netra kelam Raihan. Naura tidak sanggup sang papa kembali marah dan memukulnya karena dekat dengan Raihan. "Sekarang kamu pulang."
Setelah mengatakan itu Naura berbalik badan, melangkah cepat menuju gerbang rumahnya, namun langkahnya terhenti. Di sana ada seseorang tengah berjongkok sambil menunduk dan Naura mengenalnya.
Sudut bibir Naura tersenyum pahit sampai kapan Abian akan menyakitinya. Terlambat, Naura tidak bisa kembali berbalik sebab Raihan di belakangnya mendadak merangkul bahunya seakan mengetahui dirinya hendak kabur.
"Gue bakal balas dia."
"Maksud kamu?"
"Liat nanti, sayang." Raihan memiringkan kepala lalu mengedipkan sebelah matanya membuat Naura bergidik ngeri.
Naura berdiri tepat di depan Abian belum sempat Naura membuka mulut Abian lebih dulu berdiri.
"Aku nunggu kamu, Ara."
Gadis itu menegang mendengar nada suara Abian, tapi dia berusaha bersikap normal.
"Kenapa kamu ke sini? Ah, aku tau pasti kamu nggak puas nyakitin aku, kan. Bian?" jawabnya. Naura membuang pandang. Teriakan Abian yang merendahkan, sebatas dirinya hanya barang itu menyakitkan diingat. Naura ingin sekali membuang jauh ingatan pahit itu.
"Dia siapa?" Telunjuk Abian mengarah di samping Naura, keningnya mengerut.
"Kenapa kamu harus tau?"
"Sepertinya perkataan Papa kamu itu benar, Ara." Abian tertawa pelan setelah lama terdiam. Dia menatap tak suka tangan itu yang tengah merangkul Naura.
"Maksud kamu apa?" Naura paham arti ucapan Abian, hatinya tertohok.
Sampai sekarang Naura tidak paham awal dari Darel membencinya atau sebelumnya Naura sudah mengetahui namun itu terlalu menyakitkan.
"Gue Raihan, calon suaminya." Ucapan Raihan sukses membuat Naura melotot.
"Buk---"
"Jadi lo jangan ada hubungan lagi sama Ara. Cowok kaya lo itu bajingan, brengsek!" Raihan menyela kemudian lebih merapatkan tubuhnya pada Naura. "Apa urat malu lo udah putus sampai muncul lagi. Cukup sakitnya Ara dan gue bakal kasih kebahagiaan yang gak pernah dia dapatkan selama ini."
Naura mengatupkan bibir rapat mengamati Raihan dari samping garis wajahnya yang serius sementara Abian bergeming kedua tangannya terkepal kuat.
"Sayangnya gue nggak percaya. Mana ada yang mau sama dia! Bekas gue," tutur Abian pedas. Naura tertegun, matanya memanas seiring melihat senyuman merendahkan Abian. Ia kira Abian meminta maaf setidaknya merasa bersalah.
"Bangsat!"
Naura termundur semuanya terlalu cepat, kini Raihan sudah memberikan pukulan tepat di tulang pipi Abian.
"TERAKHIR KALINYA GUE LIAT LO DI DEPAN RUMAH INI. JANGAN BERHARAP BUAT DEKAT SAMA DIA LAGI KARENA ARA ITU PUNYA GUE!" bentak Raihan geram.
Seakan kesetanan Raihan menendang kaki Abian satu tangannnya kemudian menarik kasar kemeja Abian mengikis jarah. Sudut matanya memerah deru napas itu tidak beraturan.
"Walaupun gue belum kenal Ara satu bulan tapi selamanya dia udah terikat sama gue. Ingat! Lo bisanya cuma nyakitin. Bagusnya lo apaan? Seujung kuku gue pun gak ada!" lanjutnya.
Jika terus dibiarkan maka seisi rumahnya akan keluar untuk itu Naura menghampiri Raihan, rambutnya berantakan. Abian tentu saja membalas, darah mengalir dari sudut bibir Raihan.
"Aku mohon, Rai. Nanti papa aku liat bahaya," katanya sembari menarik pergelangan tangan Raihan.
Cowok itu berdecak kesal.
"Dia baru aja hina lo."
"Aku udah biasa."
"Biasa apa maksudnya?!"
Naura menelan ludah berusaha menyingkirkan kedua tangan Raihan yang berada di atas bahunya, sakit. Emosi Raihan terlihat tidak terkendali, bahunya dicengram kuat.
"SEHARUSNYA LO LAWAN MEREKA, ARA! LO TERLALU LEMAH. SAMPAI KAPAN LO MENYERAHKAN DIRI BAHKAN DIPUKUL PAPA LO SENDIRI!" teriaknya gusar.
Bibir Naura berubah pucat, tubuhnya gemetar. "Sa--sakit, Rai..." Air matanya perlahan menetes, mereka semua sama saja.
Kaki gadis itu tidak mampu berdiri, dada kirinya kembali sesak seakan jantungnya hendak dicabut. Semua orang yang dikenalnya hampir sama, kepedulian berujung menyalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Novela JuvenilNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...