[40] Keharusan

894 86 1
                                    

Naura sadar Raihan sedang marah karena tadi malam dia tidur di kamar hotel Lovia, seharusnya yang dijadikan malam pertama. Naura tidak mengerti keinginan Raihan, sekali lagi masih ada malam-malam berikutnya bukan hal tepat jika menyalahkan balita berusia tiga tahun atas semuanya.

"Kak Kiara, sialan!" Raihan berkata geram kesekian kali tertangkap di telinga Naura sesekali pemuda itu ikut menyebutkan nama Kahfi.

"Kamu jangan bicara kasar," jawab Naura lalu duduk di samping Raihan.  "Aku minta maaf," lanjutnya tulus.

Raihan membuang muka, tak peduli Naura sedang mengusap lengannya berusaha agar tidak luluh hanya sebatas Naura memasang wajah imut walaupun memang istrinya itu imut.

"Jangan marah."

"Kamu udah makan?"

"Atau mandi badan kamu bau."

"Nggak boleh salahin Kak Kiara apalagi Kahfi, itu keinginan aku sendiri tidur sama Lovia bukan salah siapapun. Iya, aku tau ranjangnya masih muat."

Naura tidak paham berhadapan dengan Raihan kepribadiannya beralih cerewet, Naura bertingkah memelas pada Raihan ini salahnya. Berkata tidur bersama dan Kahfi berada di tengah-tengah yang ada Naura justru tidur di kamar Lovia.

"Hem." Raihan bergumam dan Naura tersenyum lebar kemudian telunjuknya membelai pipi Raihan detik berlalu Raihan akhirnya balas memandanginya.

"Maafin aku ya?"

"Kenapa minta maaf?"

"Karena aku tidur di kamar Lovia terus ninggalin kamu."

Respon Raihan yang tertawa membuat gadis itu mengerutkan kening. Apa ada yang salah dalam perkataannya?

"Ini jam berapa?"

"Setengah delapan."

Naura tertegun mulai paham alasan Raihan bertanya tentang jam, seharusnya dia tidak lupa jika tadi malam tidak bisa kenapa pagi hari seperti ini Raihan pasti memikirkan sesuatu. Menurut Naura senyuman Raihan jelas senyuman yang penuh arti dan ada maunya.

"Pikiran kamu aneh."

"Memang iya."

Naura berdehem secara refleks mengeratkan kimono yang melekat di tubuhnya.

"Aku bakal kecewa banget kalau kamu nolak."

"Maksud aku bukan itu, nanti ada yang liat gimana?"

"Semuanya udah dikunci lagian kamar itu tempat privasi."

Raihan menghadap Naura lalu merapatkan tubuhnya, jemari Raihan mengusap bibir ranum itu keningnya dan Naura saling bersentuhan.

Tidak menunggu lama bibir itu saling bertemu, Naura memejamkan matanya mengikuti permainan Raihan.

Sampai sekarang Naura tidak bisa untuk tetap tenang, jantungnya berdebar kencang buru-buru Naura mendorong Raihan napasnya mulai habis, Raihan begitu menuntut.

"Padahal baru sebentar," ucapnya serak. Ada tidak terima dari diri Raihan, tetapi dia juga tidak mungkin membiarkan Naura kehabisan napas. "Bibir kamu tetap manis." Mendengarnya Naura terperangah terlebih Raihan tiba-tiba memeluknya kemudian menjatuhkan ke ranjang.

Tidak membiarkan Naura berbicara Raihan menutup kembali mulut Naura dengan bibirnya, memperdalam ciuman mereka. Di sela ciuman jemari Raihan bergerak mengusap rambut basah Naura.

"I love you, cahaya dan bunga untuk Raihan Dipran," bisiknya lembut. Bibir Raihan berikutnya turun ke leher Naura bersamaan dengan tangannya melepaskan kimono Naura. Kamar itu saksi bisu semua kenikmatan yang tidak akan pernah keduanya lupakan, membuang jauh masa lalu dan mengambil sisi positif. Bagi Naura, Raihan adalah sumber kebahagiaannya selama ini yang selalu Naura cari.


*****

Dara meletakkan secangkir teh di meja bundar, menatap suaminya itu tengah sibuk membuka lembaran dokumen di sisi meja.

"Soal yang kamu bilang tadi malam pengen kasih hadiah pernikahan Rai tentang rumah itu beneran?" tanya Dara.

"Iya, kamu ada saran tempat yang cocok buat mereka," jawabnya.

"Kamu tau sendiri, Mas. Sekarang aku sibuk restoran yang baru dibuka. Emang kamu aja yang bisa jadi pembisnis."

Neon berdecak mengerti maksud sindiran Dara. "Oke, ini aku lepas!" Berikutnya Dara tersenyum manis, duduk di sebrang sang suami.

"Aku tanya-tanya ke temen aku, biasanya mereka tau rumah yang mau dijual sekalian aku izin nanti siang kayaknya aku bakal ke restoran," jelas Dara. "Liat perkembangannya."

Belum sempat Neon menyahut ketika menyadari siapa yang tengah berjalan menggendong anaknya seraya tertawa.

"Kalian berdua harus tau gara-gara Kahfi malam pertama Raihan berantakan terus Ara malah minggat ke kamar Lovia," ucap Kiara menggebu-gebu.

"Raihan jam lima pagi udah kaya cacing kepanasan nekan bel," jawab Neon mengingat kembali adiknya itu yang menekan bel unitnya secara brutal.

"Sambil bawa Kahfi, mana anak kesayangan aku ini." Dara menambahkan, meraih anak tunggalnya itu yang sedang menyumpal dot di mulut. "Lagi tidur, adik kamu itu, Mas. Nggak punya hati."

Neon tertawa pelan, tidak mengelak bahwa adiknya hampir mengamuk sementara Kiara tertegun apa segitunya, memang dia mengerjai Raihan. Sebelum itu pun dengan iseng bertanya passowrd unit pada Naura dan entengnya Naura memberitahu.

"Eh, aku baru ingat sesuatu!" Kiara tiba-tiba berteriak membuat kedua orang itu terkejut.

Dara dan Neon menggeleng heran di luar sana yang bilang Kiara kalem, namun sekarang kebalikannya.

"Mereka belum keluar, jadwal sarapan juga udah lewat, jangan-jangan pengantin baru itu begituan lagi pengganti tadi malam," sambung Kiara tertawa puas, membayangkan sepupunya itu membuat Naura lemas.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang