[32] Hari Kelulusan

722 95 1
                                    

Lapangan SMA Ragian di penuhi semua orang tingkat akhir itu merayakan kelulusan mereka, setelah dua minggu lebih berkutat dengan ujian dan memperbaiki nilai. Sekarang sesi acara terakhir yaitu menulis dikertas kosong kemudian nanti di terbangkan melalui balon.

Raihan, Nikan, dan Danika kompak tak ikut serta, bagi mereka itu sekedar sia-sia. Ketiga remaja tersebut memang sering dicap preman SMA Ragian. Apalagi Danika penuh ketenangan mengangkat kakinya ke meja sembari meneguk minuman coca-cola, sementara Raihan menatap harap ke gerbang, katanya Neon dan Dara menuju ke sini bersama Naura. Awalnya Raihan menganggap itu candaan kakaknya, namun kiriman siluet dan Raihan yakin itu Naura menatap gambar tak percaya. Bagaimana Naura bisa dibiarkan tidak beristirahat padahal keadaanya masih belum membaik? Lagipula kenapa Kakaknya itu harus sok kenal, sok dekat pada calon istrinya.

"Buset dah, tenang." Nikan di sebelah jadi risih Raihan yang terus bergerak gelisah.

Raihan mendelik lalu merebut hape yang tengah Nikan mainkan, Nikan bahagia di atas penderitaannya. Terjadilah aksi saling merebut, Danika mengamati dalam diam membiarkan saja tingkah sahabatnya itu.

"Ini yang mau nikah?! Serius? Kelakuan kaya anak esde." Danika berseru meledek, kakinya di turunkan.

Belum sempat Raihan menarik kerah jas abu-abu yang melekat di tubuh Danika ucapan heboh Nikan menghentikan, Raihan menoleh mengikuti arah telunjuk pemuda berkacamata minus itu.

Di sana gadis tersebut berjalan di samping istri kakaknya yang menggendong Kahfi, balita itu terlihat tenang tidak bersikap cerewet. Tatapan Raihan bertemu Neon yang berjalan memimpin di depan.

"Kak Neon, sini!" Nikan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Bagi Nikan, laki-laki itu adalah panutan. Diusia muda berhasil memajukan bisnis keluarga baik dari segi otomotif dan tempat wisata.

"Tutup mulutnya, jangan mangap. Kamu makin jelek kaya gitu!" Neon berkata setelah sampai di depan Raihan lalu menyentil bibir adiknya itu.

Raihan berdecak kesal, lebih baik dia bertanya langsung pada Naura yang kini menyapu pandangan di sekitar. Ada binaran bahagia di manik itu, Raihan mendekati Naura dengan pelan meraih jemari lentik Naura.

Dara tersenyum mengejek. "Calon istrinya kita culik, Rai. Kahfi mau ketemu Bundanya."

Raihan berkacak pinggang mulai menyimpulkan satu hal. "Jadi ini gara-gara Kahfi? Bunda itu masih sakit kalau kenapa-napa kamu mau tanggung jawab," omelnya yang dibalas Kahfi dengan tatapan bingung.

Naura menggeleng heran, tubuhnya benar-benar sudah membaik. Luka di punggung dan lengan juga telah kering, perban di lengan kiri Naura tadi malam dilepaskan Kak Sila.

"Mau ikut aku keliling?"

"Ke mana?"

"Keliling di hati aku."

Danika dan Nikan menirukan orang muntah, Neon melirik sekilas berpikir adiknya ini kelamaan makin bucin, tak ambil peduli Raihan langsung menggandeng Naura sebelum Kahfi melihat bahwa ibu keduanya kini tidak ada lagi, bisa-bisa balita itu menangis kencang.


Raihan membawa Naura tepat di tengah lapangan semua orang asik mengobrol dan berfoto ria, namun saat Raihan sampai semuanya menatap penasaran kedua orang itu termasuk teman-teman sekelasnya.

"Ternyata udah punya gandengan, gue kira tobat. Emang ya buayanya gak luntur." Pemuda berambut ikal mendekat kemudian bertos ria dengan Raihan. Naura di samping mencoba tersenyum ketika dirinya di sapa walaupun sapaan itu melalui kedipan aneh ditambahi siulan laki-laki lain.

Raihan menyikut perut Alno, dia ke sini hanya ingin memperkenalkan Naura, sudut bibir Raihan tertarik ke atas kemudian menunjukkan jemarinya yang saling bertautan.

"Ini yang terakhir, sebentar lagi kalian semua dapat undangan pernikahan. Gue dan Naura bakal nikah," ungkap Raihan.

Perkataan Raihan sukses membuat orang yang mendengarnya tercengang, mengaitkan kejadian di kantin lalu.

"Pantas lo semarah itu sama Lira, udah punya calon. Gak mau nyakitin calon istri." Alno terkekeh geli

Perempuan berkebaya hijau di samping Alno mengulurkan tangan ke Naura. "Dinda, bendahara di kelas. Lo tau Raihan itu banyak banget hutang sama gue. Hidup kaya sultan tapi sering ngutang," ucapnya berapi-api.

Raihan melotot, kurang ajar kenapa sengaja menjelek-jelekkannya di depan Naura! Respon Naura hanya tertawa pelan, rasa canggung mulai melebur. Mereka semua ramah, bahkan ada yang mengatakan jika dia tidak cocok bersanding dengan Raihan.

"Tiga tahun sekelas sama nih anak badung, beneran bikin sakit kepala!" Aku Dinda di setujui yang lain.

"Kalau nanti lo bosan sama Raihan boleh lah sama gue ... calon suami lo ini pernah curi seragam perempuan pas mau ganti baju," tambah Alno.

Dari tujuh orang yang banyak bicara hanya Alno dan Dinda, sisanya sepuluh orang tadi pamit ingin ke panggung tak jauh dari tempatnya.

Raihan memasang wajah galak tidak akan membiarkan Naura mendengar dari A hingga Z. Penyesalan itu memang diakhir, Raihan mengeratkan genggamannya.

"Kita pergi, iri bilang bos! Nanti tunggu aja undangan gue." Raihan berbalik badan, pura-pura menulikan telinga mendengar gelak tawa mereka sembari tetap menggandeng Naura.

Sementara Naura menahan senyum, air muka Raihan lucu apalagi ketika Alno mengodanya. Alno hampir mengusap rambutnya, tetapi Raihan menghentikan dengan cara menendang tulang kering Alno.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang