Raihan melempar asal gelas kaca di meja. Persetan akan pecah! Dan belingnya mengenai orang lain. Emosinya sudah gagal dia tahan, demi apapun Raihan benci keluarga itu. Setelah mengantar Naura ke kosan Lovia. Raihan langsung pergi ke klub bukan berarti dia minum, dirinya telah berjanji pada diri sendiri dan mungkin gadis manis itu untuk berubah walaupun sulit.
Danika dan Nikan dibuat kaget, namun takut bertanya. Garis wajah itu benar-benar memerah, cahaya lampu temaram tidak menyulitkan keduanya dan musik yang terdengar keras.
"Bangsat emang tua bangka itu pengen banget gue tebas kepalanya! Kalau gue tebas gak bisa minta restu! Gue janji setelah nikah sama Naura, mereka yang udah nyakitin Ara gue balas!" teriaknya meradang.
Raihan duduk di tengah, memandangi botol berisi air pekat itu yang kini tengah Danika tuang ke dalam gelas.
"Buat lo."
"Justru gue pengen numpahin ke muka lo!"
Belum sempat Raihan merebutnya gerakan cepat Danika meneguknya hingga habis. Dia melirik kesal ke arah Nikan yang cengar-cengir meledek.
"Sabar, Rai. Coba cerita," ucapnya.
Raihan menyadarkan tubuhnya lebih nyaman dipunggung sofa, ia memang harus tetap sabar. Jangan sampai hilang kendali dan Naura takut hal itu.
"Gue bisa bantu asal kasih imbalan," kata Danika setelah lama terdiam. Air mukanya menunjukkan raut serius.
"Belum saatnya, di mana nanti gue kasih tugas sama lo jangan dibantah. Soal imbalan tenang aja," jawab Raihan ketus.
Danika mengiyakan sebenarnya dia penasaran keluarga Hayden itu, mendengar cerita Lovia saja membuatnya marah apalagi jika nanti melihat perlakuan tak pantas keluarga itu.
"Lo beneran gak mau? Ini terakhir deh. Gue yang bayarin." Kali ini Nikan menawarkan sembari menyerahkan gelas berisi minuman pekat itu yang tersisa setengah pada Raihan.
"Gue juga bisa bayar kali!" Laki-laki berambut acakan itu berdecak kesal, kemudian mengambilnya. Ya, terakhir kali setelah itu Raihan langsung pulang walaupun nyatanya justru minuman alkohol itu berakhir membuatnya ketagihan lebih dari satu botol Raihan teguk.
~~~~~
Lovia ikut memandang lurus pagar tua kosannya, tempat perlindungan ini kecil tapi mampu memberikan kebahagiaan termasuk gadis di sebelahnya yang menemani, Mengobrol santai.
"Makasih kamu udah mau nerima aku," kata Naura lirih.
"Iya, berhenti ngomong itu!" Lovia mendengus kuat, rambut sebahunya dia rapikan. Udara semakin dingin karena sahabatnya itu terlihat biasa saja maka Lovia tak mau kalah.
Naura tertawa pelan. "Kita masuk aja, kamu kedinginan. Ayo, aku beneran takut kamu sakit." Dia berdiri sembari telapak tangannya terulur.
"Gue gak kedinginan, masuk duluan! Sekarang gue mau ke ujung jalan sana mendadak ngidam martabak." Lovia menggeleng.
"Aku ikut."
"Jangan, gue pengen sendirian."
"Kenapa?"
"Muka lo masih pucat udah kaya mayat, lihat kening lo Ara sayang harus dijaga. Emang mau perbannya lepas lagi terus lukanya robek makin lebar."
Lovia dengan sengaja menakuti Naura, bukan Naura jika takut begitu saja. Naura yang hendak melangkah lebih dulu buru-buru Lovia menarik pergelangan tangannya.
"Tugas lo sekarang susun piring jadi nanti pas gue udah pulang langsung kita makan martabak karena semuanya udah lengkap, oke."
Naura terdiam tiga detik berikutnya mengangguk dan Lovia bernapas lega, senyumannya merekah sebelum melangkah pergi Lovia memeriksa uang di saku jaket, memberikan wajengan pada Naura untuk menjaga rumah.
****
Sebenarnya Naura tidak pernah takut sendirian, dia sudah sering merasakan. Sendiri adalah teman sejati baginya dari dulu, biasanya jika hujan bersamaan petir Naura akan bersembunyi di balik selimut, tapi sekarang kedua kakinya mendadak kaku sekedar melangkah menuju kamar.
Naura memeluk lutut, berusaha tak gentar. Semuanya tetap baik-baik saja, pikiran Naura mulai takut bagaimana keadaan Lovia di luar sana, hujan deras sesekali petir terdengar. Kilat terus menembus jendela.
Dan benar dugaan Naura seketika lampu padam, Naura sedikit berdiri. menatap keluar, listrik mati. Semua kontrakan di samping Lovia ikut gelap.
Tok
Naura menegang telinganya tidak salah mendengar ketukan itu, kelamaan ketukannya semakin keras.
"Ini gue Raihan..."
Suara serak dan berat itu membuat takut Naura hilang, diantara kegelapan dia melangkah pelan menuju pintu rumah. Berbagai pertanyaan memenuhi pikiran Naura, semoga Lovia ikut bersama Raihan. Dia tidak ingin sesuatu terjadi terhadap Lovia.
Tepat setelah pintu terbuka Naura tidak bisa menahan pekikan tubuh jangkung pemuda itu jatuh ke pelukannya, kedua tangan Raihan melingkar dipinggangnya. Untung saja Naura bisa menjaga keseimbangan.
"Raihan kamu kenapa?" lirih Naura. Pakaian Raihan sama sekali tidak basah kemungkinan Raihan ada yang mengantarnya kesini secara sengaja.
"...gue ke sini sama Nikan dan Danika, tapi mereka berdua ninggalin gue. Emang teman bego," umpatnya.
Naura menggeleng heran, bagaimana aroma alkohol terhirup di hidung Naura, pantas saja pemuda di peluknya kini berjalan sempoyongan. Dengan hati-hati Naura memapah Raihan sebelum itu menutup pintu lalu menguncinya.
"Kamu liat Lovia?"
"Gak ada, hem ... Danika dan Nikan pasti ketemu Lovia. Tenang aja, Araku." Raihan terkekeh geli, dia bukan Nikan satu gelas langsung teler. "Emang kamu gak takut kita berduaan kaya gini?" lanjutnya.
Naura merebahkan tubuh Raihan ke atas karpet, tangannya ikut meraih bantal.
"Buat apa aku takut."
"Aku bisa ambil kesempatan."
Naura hendak menyahut terhenti karena tiba-tiba punggungnya ditarik kembali saat itu pula Naura sadar tidak ada lagi jarak antaranya dengan Raihan. Kilat di balik jendela seakan menjadi penerangan, Naura menelan ludah berusaha menjauh.
"I love you, Naura Rafia Hayden. You Are mine." Raihan berbisik dalam kemudian menempelkan bibirnya pada bibir ranum itu, menuntun gadis itu walaupun sempat merasakan tubuh mungil dipeluknya kini menegang. Malam ini, Raihan berjanji akan menghilangkan trauma Naura, dan kenangan pahit bersama Abian harus masuk dalam jurang kegelapan yang sangat-sangat sulit dijangkau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...