[31] Perasaan Terbalas

771 92 1
                                    

Perkataan Raihan satu jam lalu berhasil membuat Naura memikirkannya, apa itu secara tak langsung Raihan mengajaknya menikah? Benarkah pemuda itu benar-benar serius? Sekarang Naura berada di taman kecil di belakang rumah Kak Sila. Raihan sendiri sudah lima menit izin memasuki rumah, katanya ada barang yang ketinggalan.

"Ara, kamu seharusnya gak boleh deg-degan gini. Raihan bisa saja sama dengan Abian." Gadis berkulit pucat itu memegang dadanya, debaran jantungnya semakin kuat hanya sebatas membayangkan wajah Raihan.

Naura tersenyum miris, mendongak menatap langit sore. Rasanya sudah lama Naura tak merasakan kedamaian ini, bebannya berkurang hanya berkumpul dengan mereka.

"Aku janji ... berusaha untuk tetap kuat, tanpa harus menangis. Menangis tentu boleh tapi ada kalanya kita berusaha kuat," gumam Naura penuh tekad.

"Itu benar!" Suara tegas dari belakang Naura menambahkan bersamaan dengan kedua tangan tiba-tiba melingkar di perutnya. Naura terperangah, tapi tidak tega mendorong Raihan.

Raihan tersenyum samar memeluk Naura lebih erat, memang tindakannya cukup aneh apalagi mereka tanpa mempunyai hubungan khusus, itu sementara. Raihan siap mengungkapkan rencananya.

"Ara."

"Iya."

Naura berdoa semoga Raihan tidak mendengar debaran jantungnya yang makin kencang, ini bukan sesuatu yang sakit tetapi hal nyaman dan ingin selalu Naura rasakan ditambahi aroma rambut khas lemon Raihan memenuhi hidung Naura.

"Kamu mau kan nikah sama Raihan Dipran? menerima dia apa adanya. Tinggal satu rumah, suka dan duka bersama, Menaruh kepercayaan masing-masing yang pasti setia." Raihan berbisik sambil jemarinya mengusap punggung tangan gadis di dekapnya kini.

Naura tertegun perlu beberapa detik menjawabnya. "...kamu serius, kan?" Tubuh Naura berbalik menghadap Raihan. Sepasang matanya membalas tatapan pemuda itu.

"Iya, dua hari lagi aku kelulusan. Aku beneran serius, Ara. Kamu harus percaya." Raihan mengenggam erat tangan Naura.

Naura mencoba melepaskan diri, tidak salah dia ragu. Naura masih trauma walaupun Raihan pernah melakukan hal itu dengannya tetapi Naura tak bisa menaruh kepercayaan begitu saja.

"Kita melakukan itu bukan berarti menikah, Rai. Aku gak hamil ... kamu jangan bercanda!" serunya. Naura mundur perlahan, memelas pada Raihan, dia belum siap.

Berikutnya Naura melangkah pergi kembali memasuki rumah meninggalkan Raihan, tubuhnya sudah membaik tanpa bantuan pun Naura bisa. Jujur perasaan Raihan memang terbalas, untuk menikah Naura perlu memikirkannya.

Telapak tangan Naura mengusap perut ratanya, saat melakukan hal itu dia dan Abian memakai pengaman, namun tidak dirumah Lovia ditengah hujan deras bersama Raihan mereka sama sekali tanpa pengaman. Hamil? Tidak menutup kemungkinan Naura hamil, tenggorokannya mendadak kering. Mulai menebak sebulan ini apa dia sudah datang bulan.

"Kalau kamu, Ara. Anak tanpa ikatan pernikahan, jangan sampai anak kamu juga bernasib sama." Naura berkata lirih sembari bersandar di meja pantry.

Bukan berarti Naura menyesal dan tidak menerima dia hamil, namun itu semua akan memberikan luka baginya bahkan orang lain. Di masa depan Naura tidak ingin semuanya bertambah rumit.

"Kamu harus bersyukur Ara jika pun kamu hamil, Raihan bertanggung jawab. Dia juga gak tau kamu hamil, Raihan beneran cinta sama kamu."

Kedua tangan Naura kini sekaligus mengusap perutnya sedikit bergetar, ada senyuman tipis di wajahnya.

"Perut kamu kenapa?!" Pekikan itu membuat Naura tersentak, tidak harus menebak itu suara siapa. Tentu saja suara Raihan. Pemuda tampan itu berlari menghampirinya.

Naura tertawa pelan, percayalah raut wajah Raihan lucu. Rambut tidak disisir itu ikut bergerak, Naura hanya bergeming ketika Raihan memeriksa tubuhnya dari atas sampai bawah.

"Aku sehat, Rai. Calon istri kamu ini baik-baik aja." Gadis berdaster putih itu itu menghentikan Raihan, kakinya sedikit berjinjit menangkup kedua pipi Raihan. Nada suara Naura berubah ceria. "Aku mau nikah sama kamu, hidup bersama."

Respon Raihan yang tetap diam justru Naura yang dibuat bingung. Saling menyelami manik berbeda itu, yang satu mencari kebohongan sementara yang lainnya menatap polos mengira ada yang salah atas ucapannya tadi.

*****


Sang raja malam tampak di langit ditemani taburan bintang, terdapat pemuda tengah duduk di sisi balkon, masih tak menyangka gadis tersebut menerimanya. Raihan kira, dia akan ditolak.

Apalagi saat Naura melanjutkan kemungkinan dia sebentar lagi menjadi ayah, awalnya Raihan menganggap itu bercanda tetapi setelah memikirkannya secara jauh dia tak bisa menahan kaget.

"Aku bahagia liat kamu senyum, Ara. Dan aku nggak nyangka kamu bahagia menebak jika kamu hamil walaupun itu bisa aja nggak terjadi." Pandangan Raihan lalu jatuh pada paper bag di samping, ada pakaian untuk hari kelulusannya yang disiapkan Dara.

Suara derap langkah berlari ke arahnya, Raihan tidak harus berbalik. Dia sudah tau siapa itu, tak menunggu lama balita berumur tiga tahun mengeluarkan suara rengekannya.

"Mas Ian, gendong."

Raihan menggeleng.

"Seorang Raihan Dipran anti memangku anak cadel. Raihan bukan Ian."

Kahfi merentangkan tangan, matanya berkaca-kaca mendengar penolakan itu. Kakinya sampai melompat menarik kaos Raihan, tetapi Raihan tetap mundur dari duduknya.

"Aduin daddy..."

"Sebut dulu nama calon istri Mas Ian ... Naura." Raihan mencubit gemas pipi tembem Kahfi, lama-lama dia tidak tega. Sejak kakaknya datang, apartemen ini yang dulunya sepi sekarang benar-benar ramai diisi teriakan.

"Mau dipanggil unda, Kahfi punya mama dua." Balita laki-laki itu menunjukkan sepuluh jemari, Raihan tertawa pelan. Dia masih ingat tadi pagi saat di kamar perawatan Naura dengan sendirinya Kahfi memanggil Naura sebutan Unda yang lebih lengkapnya Bunda..

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang