Sudah dua bulan berlalu, Raihan hanya mengamati dari jarak jauh. Informasi sahabat gadis bermata coklat madu yang bernama Alta itu Raihan mulai mengetahuinya walaupun masih ada beberapa yang terlalu sulit karena itu pribadi.
Sekarang tujuan Raihan menunggu Danika dan Nikan tengah menjemput kunci terakhir agar penasarannya lega. Selama ini pula beban berat terasa di bahunya.
Tak lama ketiga orang datang salah satunya seorang gadis kini tengah diseret paksa sembari berteriak tak karuan mungkin karena tau di mana tempat pijaknya sekarang dia berhenti.
"RAIHAN BEGO NGAPAIN LO NYURUH ORANG TOLOL INI." Lovia berteriak meradang. Bayangkan saja ketika dirinya berjalan santai di koridor tiba-tiba ada yang membekap mulutnya. Sebenarnya Lovia tak apa, tapi sekarang sekolah mereka berbeda. Raihan SMA Ragian sementara Lovia SMA Bintang.
Lovia tidak suka jadi pusat perhatian, seragam putih abunya bersanding dengan seragam biru navy dari para siswi dan rok kotak-kotak selutut. Bagaimana semua orang memandanginya penasaran.
"Ngapain lo pegang-pegang, hah?! Danika tolol. Ternyata lo masih hidup gue kira udah mati," desisnya geram.
Nama yang disebut berdecak kesal Danika mendorong tubuh Lovia kalau saja Lovia gagal menjaga keseimbangan dia bisa langsung menghantam meja.
"Gue kenal kalian berdua, tapi gue nggak kenal human pake kacamata ini." Telunjuk Lovia mengarah bengis ke Nikan meliriknya sebentar kemudian dia mendaratkan pantatnya ke bangku. Duduk tepat di sebrang Raihan.
Lovia cukup bersikap bodo amat terhadap sekitar, semua para siswi di kantin menatapnya juga seperti orang lapar.
"Langsung aja. Gue paling gak suka basa-basi setelah gue kasih semua yang gue tau, gak ada yang namanya gratis. Cukup bayar indekos gue selama tiga bulan," ujarnya pelan.
Raihan mendengus kuat, dia menyesal. Namun bagaimana lagi Lovia adalah orang terakhir kunci agar dirinya mengetahui siapa itu Alta.
"Gimana kondisi Ara?"
"Bukannya lo sering kintilin dia bahkan sepintar apapun lo sembunyi Ara tau. Sadar."
"Dia emang hebat."
"Sekarang gue jarang ketemu Ara akhir-akhir ini mungkin karena Ara sibuk mama tirinya hamil dan tua bangka itu pasti cari kesalahan Ara."
Raihan mengganguk.
"Pantas tiga hari lalu gue liat mamanya si lampir itu keluar dari rumah sakit. Ara seakan jadi sopir pribadi, gue liat bibirnya pucat. Si lampir itu perlu dibulatin."
"Siapa yang lo bilang mak lampir? Asal lo tau Tante Riani itu orangnya baik ya tapi anaknya aja yang pengen gue tendang." Lovia mendelik.
"Iya, Gemina."
"Lo kenal Gemina?!"
"Ceritanya panjang. Pertemuan gue sama dia udah keliatan kalau Gemina gak suka Ara, seseorang yang belum paham apa itu artinya terima kasih." Raihan berujar tajam, keduanya seakan tidak menyadari jika di kantin itu semua orang saling berbisik kecuali meja di sudut kantin. Nikan dan Danika hanya saling tatap lalu menarik kursi mereka mendekat.
Nikan berdehem. "Kalau rahasia jangan saling ngegas sedari tadi kalian saling teriak," ujarnya.
Gadis jangkung dengan rambut terkucir rapi itu tersentak kaget, matanya mengerjap. Sedikit malu bagaimana laki-laki yang beberapa menit lalu dia berucap kasar dan sekarang laki-laki ini justru bersikap lembut sembari menampilkan senyuman manisnya.
"Soal Alta..." Lovia menuduk, suaranya terdengar seperti bisikan namun dapat di dengar ketiga orang itu. "Kayaknya yang dibilang Mbak Anis salah, Naura selalu risih setiap ketemu lawan jenis. Sahabat? Mana mungkin, Ara lebih sering bersikap kaku dan Abian termasuk rekor, first love Naura."
Raihan tertegun sebentar menunggu Lovia melanjutkan perkataannya.
"Tapi karena kejadian itu Naura malah trauma, entah bersyukur atau sebaliknya Kak Alta selama Naura terpuruk dia sibuk, yang Kak Alta tau Ara punya pacar. Udah itu aja."
Lovia menarik napas lalu mengembuskan pelan, sepasang matanya membalas tatapan lurus Raihan. "Ada yang harus lo ketahui sejak Ara kenal lo Rai. Dia berubah, semacam gak takut lagi. Awalnya gue gak percaya Ara bilang dia main basket sama temen lo yang namanya Nikan. Jadi, siapa yang namanya Nikan di sini? Gue cuma mau bilang makasih karena bersikap ramah."
"Jangan kaya gitu nanti gue besar kepala." Nikan cengar-cengir sembari mengulurkan tangan. "Nikan, sahabat akrab Rai."
Lovia menjabat uluran tangan Nikan, semuanya berlangsung tujuh detik. Kemudian Lovia kembali menghadap Raihan selama tempat tinggalnya dijanjikan, dia akan menjawab setiap pertanyaan Raihan selama bukan aneh-aneh.
"Giliran gue."
"Maksudnya?"
Lovia melipat tangan di atas dada, matanya memicing curiga. "Apa lo serius sama Ara. Gue masih yakin seorang Rai itu buaya, banyak degemnya. Lo bahkan sering pergi ke club dan ini apaan asbak!" katanya sarkas. Lovia meraih absak berbentuk bulat terbuat dari kaca itu, tanpa perasaan melemparkannya ke Danika. Beruntung Danika sadar, refleks menyambutnya.
Raihan tersenyum, jemarinya memainkan garpu dan sendok di dalam wadah berwarna hijau di tengah meja.
"Kayaknya gue jatuh cinta beneran kali ini, serius. Gue nggak ragu soal perasaan ini."
Bahu Lovia bergetar menahan tawa, Nikan sedang menghirup kuah mie ayamnya terbatuk keras. Sebelah tangannya bergerak cepat menarik tisu, lain halnya Danika ternganga kemudian mengumpat.
"Cara ngomong lo, Rai, mirip adik gue yang ada di kampung," ucap Lovia terkikik.
"Semua orang itu berhak jatuh cinta begitupun gue. Nggak ada salah sama sekali, kan?"
Ketiganya mengangguk cepat. Raihan tersenyum lebar sambil bertopang dagu, tidak Raihan sadari jika senyuman terukir di bibirnya nyaris membuat orang lain memekik kesenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Novela JuvenilNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...