Raihan bukanlah seseorang yang peduli terhadap orang asing kecuali jika dirinya benar-benar merasa dekat. Dari jarak jauh saat pertama kali mereka bertemu di taman dia sekedar penasaran, dan hatinya mengatakan untuk menghampiri jika tidak maka diakhir akan ada penyesalan.
Disitulah untuk pertama kali Raihan merasa sesuatu yang berbeda, sepasang mata coklat madu gadis itu yang penuh arti.
"Dia siapa?" Perempuan muda berdrees biru tanpa lengan tersebut menatap Raihan penuh tanya.
"Naura."
"Pacar?"
"Bukan."
"Jangan aneh-aneh, Rai. Lo pengen gue aduin sama kakak lo," ucapnya. Perempuan cantik bernama Kiara pekerjaan sebagai model majalah, namanya sering dibicarakan akhir bulan ini karena berhubungan dengan tokoh publik.
Raihan membalas tatapan sepupunya itu jengah, tidak peduli lagi rentetan pertanyaan Kiara. Ia menatap kembali gadis berkulit pucat berbaring damai di ranjang dengan mata tertutup rapat.
Jemari Raihan menghapus sisa air mata di pipi Naura, dirinya memang sengaja membawa Naura ke apartemen yang kini dia tinggali.
"Lo nggak hubungi dokter?"
"Lovia bilang jangan. Naura katanya nggak suka."
Kiara tertegun merasakan hal aneh terhadap sepupunya tersebut, tapi tidak terlalu banyak lagi bertanya. Kiara memilih berjalan menuju dapur, setidaknya saat gadis bernama Naura itu ketika bangun sudah siap makanan untuknya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Berbagai kebingungan tidak bisa terjawab, Raihan memainkan jemari Naura, hatinya berdesir hangat dan perasaan ini ia sangat nyaman.
Ketakuan sepasang mata Naura, permintaan tolong. Rintihan pedih itu terus menghantui. Saat Raihan menyandarkan Naura ke bahu dalam keadaan tidak sadar gadis itu terus berucap lirih, tubuh mungilnya terus gemetar.
"Lo semacam magnet buat gue, ah bukan. Kayaknya gue tertarik sama lo, Aura. Ini nggak bercanda tapi benar-benar sungguhan." Sudut bibirnya melengkung, tubuh Raihan sedikit maju penuh berani menempelkan bibirnya di pipi Naura.
"Dasar cowok mesum..."
Raihan tersentak kaget mendengar suara halus dan serak itu lalu kelopak mata itu bergerak pelan.
Tubuh Naura mundur, antara kesal dan ketakutan. Tetap waspada walaupun pemuda yang memperkenalkan diri sebagai teman Lovia ini bisa saja berbahaya.
"Lo udah sadar?"
Sama sekali tidak ada sahutan, Naura menaikkan selimut. Garis wajahnya linglung menatap sekitar yang benar terasa asing, selama ia pingsan apa yang terjadi akan kah semuanya baik-baik saja. Jika sang papa mengetahui dirinya tidak di kamar pasti membuat Naura kembali merasakan sakit.
"Kamu kenapa bawa aku ke sini? Aku harus pergi." Belum sempat Naura menurunkan kakinya, lebih dulu Raihan menahan bahu Naura.
Tindakan Raihan yang terlalu tiba-tiba seketika mengingatkan kejadian pahit itu, Naura meringkuk ketakutan sembari menepis kasar tangan Raihan.
"Jangan..."
"Cuma kamu yang percaya aku Lovia. Sekarang aku takut, sekarang kamu di mana!" Naura terisak, menyapu pandangannya ke seluruh kamar.
Sementara Raihan menelan ludah, sadar jika penyebab Naura berteriak histeris dan ketakutan adalah dirinya, tapi ia juga tidak bisa membiarkan gadis mungil itu melukai tubuhnya sendiri.
"LOVIA."
Bersamaan teriakan itu pintu kamar di dorong kuat, gadis jangkung dengan rambut sebahu berlari kemudian memeluk Naura.
"Sekarang lo harus tenang, jangan takut. Ini gue Lovia ... Raihan nolongin lo."
Naura membalas pelukan Lovia erat setiap bisikan yang Lovia katakan seperti obat penenang. Jika memang cowok asing itu baik, namun ingatan pahit itu terus berputar di pikirannya.
"Yakin sama gue Raihan bukan orang jahat. Dia jelas beda sama Abian." Lovia melepaskan pelukan lalu meraih telapak tangan Naura, menggengamnya erat.
Raihan tersenyum tipis, padahal saat ia mengekori Naura tidak ada ketakutan di mata gadis itu atau mungkin karena di kamar ini sebelumnya hanya mereka berdua. Raihan tidak tau kenapa Naura sampai berteriak ketakutan, sepertinya ia harus menuntut penjelasan dari Lovia.
"Maaf." Naura mendogak sampai tatapan keduanya beradu, senyuman tulus di bibir cowok memakai badana hitam itu lembut dan binaran matanya seperti anak kecil hanya mendengar suara Naura.
****
Beruntung besok paginya Lovia berhasil menyakinkan sang papa jika dirinya menginap di rumah Lovia. Tidak ada kilatan marah dan emosi di sana. Untuk kesekian kalinya Naura berterima kasih yang dibalas cibiran malas Lovia.
"Apa pun bakal gue lakuin, sampai gue pengen bawa lo keluar dari rumah ini, Ra. Ini seakan lo udah dapat penyiksaan di dunia belum lagi nanti pas udah mati," ucapnya.
"Kamu justru pengen aku mati?"
"Gue serius!" Lovia mengacak rambut frustasi, memutar tubuhnya menghadap Naura. "Satu lagi, lo gak boleh trauma. Raihan bukan cowok bajingan kaya Abian."
Naura merapatkan bibir hanya menjadi pendengar setia coletehan Lovia tentang Raihan.
"... Dan lo harus tau, minggu ini gue nyuruh Rai ngajakin lo jalan-jalan."
"Itu sia-sia. Aku lebih dulu menolaknya." Naura mendelik, sifat sahabatnya itu pemaksa dan tidak peduli lagi tanggapan orang lain.
Tentu saja Lovia tetap pada rencananya agar berjalan lancar, tidak akan membiarkan Naura trauma terhadap kejadian itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/237568004-288-k6503.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Fiksi RemajaNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...