"KENAPA KAMU DUDUK DI SINI?" Pria berkemeja itu melemparkan sendok ke piring, rahangnya mengeras. Sepasang matanya menatap hina gadis yang baru saja hendak menarik kursi.
Naura tersentak kaget, dugaannya ternyata salah. Ia kira sang papah telah melupakan peristiwa itu walaupun seminggu ini Naura mengurung diri di dalam kamar.
"Makan..." sahutnya gemetar.
"Kamu makan di luar, papa nggak ada selera satu meja sama kamu." Darel berujar dingin sembari meraih dompet di saku celananya. Naura menunduk, menahan gumpalan panas di matanya. Setidaknya papah masih menganggapnya anak.
Wanita yang di samping Darel mencoba menenangkan walaupun itu sia-sia. Naura meraihnya dengan tangan gemetar, air mata yang sedari tadi ia tahan perlahan menetes. Dadanya sesak.
"Percuma piala kamu berjejer di lemari. Lebih baik buang!"
"Maaf, Pa."
BRAK
Naura termundur kaget membalas tatapan Darel, kedua kakinya gemetar sadar garis wajah itu penuh kemarahan."Riani, aku nggak mau dia masih di sini. Bawa keluar!" bentaknya geram.
Nama yang di panggil tersenyum pahit, beranjak dari duduknya. Menuruti perintah suaminya ia mengulurkan tangan, namun tidak di sambut sama sekali.
"Rumah aku di sini, Pa."
"Pergi atau kamu emang pengen Papa usir!" Darel semakin meradang, ia berdiri tanpa peduli Riani yang terus memohon.
Naura menarik ujung kemeja Darel, matanya berkaca-kaca. Kenapa tidak ada kepercayaan sama sekali di mata itu? Naura tidak ingin kemarahan papanya semakin banyak.
"Apa kamu bisa perbaiki nama baik keluarga kita? Semua piala yang di lemari bawa keluar dan bakar, saya tidak ingin melihatnya!" bentak Darel.
"Naura dijebak," sahutnya menahan sakit. Naura memeluk kaki Darel semakin erat, ini bukan pertama kali. Semuanya tidak bisa terhitung, entah kesalahan apa yang dilakukan Naura papa membencinya. Kadang Naura ragu jika orang yang paling ia sayangi orang tuanya.
"Pegang anak ini Riani, menyusahkan. Aku terlambat jika dia terus memeluk kakiku." Darel berucap dingin, berusaha melepaskan diri. Sebelah kakinya ikut bergerak nyaris menyentak kasar jika wanita itu tidak memeluk Naura.
Wanita berambut sebahu itu berjongkok, menghapus air mata di pipi Naura. Rasa sakitnya ikut Riani rasakan, memar di wajah Naura terlihat jelas.
"Seharusnya Tante jangan terlalu baik, saya hanya punya papa. Tante belum tentu akan saya anggap mama tiri saya," lirih Naura menunduk.
Riani menatap punggung suaminya itu yang perlahan menjauh. "Iya, mama tau. Jangan nangis, mama menunggu sampai Naura menerima mama bagian dari keluarga yang kamu impikan."
Bagaikan sosok pelindung Riani tersenyum tulus, membawa gadis pucat itu ke dalam dekapaannya. Mendengar tangis dan pengaduan yang selama ini ditahan.
"Kadang aku takut sendirian Tante, berbuat sesuatu yang bisa aja berat dan berakhir penyesalan."
Naura memejamkan matanya, sadar tubuh dipeluknya kini menegang. Ia tidak punya keberanian lagi untuk meneruskan.
***
Naura meletakkan celemek di meja patry. Ia menoleh pada jendela kecil yang berada di dapur, sudah malam hari. Keyakinan yang dilakukan Naura membuat brownis coklat kesukaan papa pasti akan mencicipinya.
Dengan perantara melalui asisten rumah tangga.
"Jangan bilang ini yang buat, Ara. Mbak tau kan biasanya papa kalau pulang kerja langsung minum kopi sekalian aja makan brownies ini," ungkapnya tersenyum lebar.
Mbak Anis mengangguk, tertohok memandangi senyuman ceria Naura. Setiap melihat dari kejauhan anak majikannya itu diperlakuan tidak pantas ia ingin berteriak dan menyumpah serapi 'tua bangka' yang sering pembantu rumah ini katakan secara diam-diam.
Perempuan lain hadir keluar dari pintu belakang sembari bertepuk tangan pelan. "Tuan Darel sudah datang, sekarang ada di bagasi."
Buru-buru Naura bersembunyi di samping kulkas hampir sepuluh menit ia berjongkok layaknya anak kecil. Naura mengenal Darel, setelah semuanya selesai baru akan ke dapur meminta salah satu pembantu membuat minuman hangat padanya.
Gadis kecil itu berlari mencari tempat sembunyi yang menurutnya aman, tentu saja tempat yang aman menurutnya di samping kulkas. Itulah alasan kenapa ia selalu orang pertama kali ditemukan karena setiap bermain petak umpat tempatnya pasti di sana."Mama liat kamu sayang, baju Naura keliatan warna ping."
"Naura pertama lagi, Mama curang!" ujarnya cemberut.
Liana tertawa lalu menarik gemas pipi bulat anak tunggalnya itu.
"Terus yang harus mama liat pertama kali siapa?" tanya Liana mengecup pipi Naura.
Gadis mungil itu menggeleng polos.
"Dirumah ini kan cuma berdua."
"Papa juga ada." Liana kembali tertawa. "Kamu lupa ya sama papa? Nanti bentar lagi papa pulang."
Potongan kenangan itu membekas, Naura bersandar ke dinding memeluk lututnya. Ia dapat mendengar percakapan Mbak Anis dan papanya. Pujian itu yang mengatakan enak lalu Mbak Anis tak kalah heboh ikut menyahuti.
"Mbak Anis kapan-kapan kita pindah posisi," ucapnya tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...