Kamar minimalis tersebut sebatas penerangan lampu tidur di nakas. Gerakan mendadak itu membuat laki-laki di sebelahnya terbangun mendapati istrinya bersandar di ranjang sambil mengelus perut ratanya, dapat melihat senyuman di bibir ranum tersebut walaupun minim cahaya.
"Rai."
"Iya?"
"Maafin aku."
"Harusnya aku yang minta maaf."
Tawa pelan mengisi kamar, Naura bersyukur dia di perbolehkan pulang tentu saja melalui bantuan Raihan setelah pemeriksaan dan Dokter akhirnya mengizinkan, tapi Naura tetap perlu istirahat.
"Besok aku mau ke rumah Papa," kata Naura. Rasanya sudah lama Naura tidak ke rumah papanya itu, dia merindukan orang-orang di sana termasuk sang papa.
"Emang gak bisa di undur, Yang? Besok aku rapat dan kebetulan aku kebagian pimpin promosi di kantor," sahut Raihan. Kecemasan itu masih hadir.
Naura mengerti langsung menyahut lembut. "Kamu jangan takut, Gian dan Gemina itu beda. Lagipula di rumah banyak penjaga, kamu jangan khawatir, oke?"
Raihan memajukan tubuhnya, menjadikan paha Naura sebagai bantalan, berbaring menyamping dan istrinya ini sama sekali tidak menolak.
"Aku lebih sayang sama kamu, kesehatan kamu dan anak kita paling utama. Aku bolehin tapi hati-hati." Mendengarnya Naura tersenyum lebar lalu tangannya membelai rambut hitam Raihan.
"Makasih suami Ara dan calon Papa." Naura dengan sengaja mengubah nada suaranya menjadi manja.
"Sama-sama, istri Raihan Dipran paling cantik." Raihan tergelak kemudian mendaratkan ciuman di perut Naura. Raihan sudah tidak sabar perut itu kembali buncit, ngidam Naura. Intinya semuanya, seperti Naura mengandung Raina.
"Sekarang kebingungan aku udah kejawab," ujarnya memecah keheningan. "Pantas akhir-akhir ini emosi aku turun naik itu mungkin pertanda hamil."
"Sebelum itu pun kamu emang galak."
Naura berdecak kesal, kalau pun dia galak pasti ada alasannya. Misalnya Raihan yang sering malas-malasan ke kantor.
"Aku ngantuk."
"Tuh, kan. Dasar ambekan."
Tidak peduli Naura mendorong kepala Raihan hingga akhirnya Naura terbebas barulah Naura kembali berbaring membelakangi Raihan, hendak menaikkan selimut terasa berat dan Naura tau penyebabnya cuek saja, tanpa selimut pun dia tidak akan masuk angin.
Ketenangan itu hanya berlangsung lima menit, kelopak mata nyaris terpejam menyadari gerakan di belakangnya ini tiba-tiba merapatkan diri dan kedua tangan telah melingkar posesif di perutnya.
"Aku beneran enggak bisa lagi manja-manja sama kamu, kan hamil." Raihan berbisik penuh kesengajaan meniup daun telinga Naura.
Segala tingkah Naura ada saja membuat Raihan gemas termasuk menggoda istrinya ini.
"Dari dulu badan kamu gak pernah rileks sekalipun aku sebatas peluk kamu, Yang. Malah aku kaya bikin kamu takut," lanjutnya.
"Aku gugup," jawab Naura jujur hampir terdengar seperti bisikan. Bulu roma Naura seketika berdiri sebab Raihan tertawa di lehernya, susah payah Naura menahan diri untuk bersikap biasa.
Berarti selama keduanya kenal Raihan menyadari itu, pipi Naura seperti terbakar. Dia pasrah saja apa yang Raihan inginkan sekedar berbalik badan Naura tidak sanggup. Sungguh malu.
*****
Pukulan.
Tendangan.
Tamparan.
Semuanya di depan matanya, Naura yang baru memasuki ruang tengah rumah papa terhenti, sedikit gemetar melihat siapa yang berbaring lemah di lantai. Naura seperti menatap dirinya sendiri, Naura menebak adalah ikat pinggang yang terakhir di pukulkan di punggung Gian.
"Papa!" Naura berseru sambil melangkah lebar, seorang wanita menangis di tangga terakhir menoleh begitupula kedua orang laki-laki.
Ikat pinggang yang pegang Darel di rebut paksa setelahnya di buang ke sudut ruangan.
"Papa kenapa kaya gini?! Papa mukul Gian. Salah dia kenapa? Kalau pun salahnya berat, jangan melalui kekerasan." Naura tersenyum gentir, tidak boleh adik tirinya bernasib sama. Tidak boleh terulang, cukup Naura yang merasakan.
Gian menghapus kasar darah mengalir di sudut bibirnya. "Lo gak perlu bantuin gue, enggak usah sok suci! Gue yakin di dalam hati lo, lo PASTI BAHAGIA!" teriaknya keras.
Plak
Kepala Gian jatuh menghantam lantai, tangan kekar dan mulai keriput tersebut menampar wajahnya kesekian kali.
"Jaga ucapan kamu!" Darel menatap bengis, sepasang matanya beralih ke Naura. "Selesai kan tujuan kamu ke rumah saya, semenjak kamu menikah. Saya tidak punya tanggung jawab lagi mengurusi kamu!" lanjutnya sinis.
Naura menurut. Cukup perkataan itu saja menyakiti hatinya, jangan lebih. Naura juga tidak ingin semuanya bertambah rumit. Dengan kaki gemetar menuju tangga melewati mama sambungnya yang menangis seraya menunduk.
Apapun kesalahan Gian dan respon Gian tadi cukup menyadarkan Naura, di mana posisinya.
******
Ramein vote dan komennya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍 bantuin votenya 1k ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Ficção AdolescenteNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...