[12] Mengingat

1.1K 123 10
                                    

Ketika dirimu memiliki kenangan pahit, kamu ingin melupakan namun dipaksa mengingat. Itulah sekarang yang Naura alami. Mimpu buruk selalu menjadi ancaman.


Potongan bersama Abian, paksaan Abian menyeretnya seperti dia bukan manusia.

Naura meringis kesakitan, kedua tangannya memegang ujung sofa. Air mata mengalir dari pipinya.

"Aku mau bawa kamu ke kamar."

"Katanya belajar di sini ... kamu ngapain bawa aku ke kamar." Gadis dengan rambut sudah berantakan itu berusaha agar suaranya tak bergetar.

Abian tertawa keras yang membuat Naura semakin meringkuk ketakutan, tak lama tangan kanan Abian terulur mencengram kuat bahu Naura.

"Jadi selama ini kamu percaya aku cinta kamu, bulshit. Ya nggak lah! Mana mau sama musuh sendiri! Kamu itu saingan aku di olimpiade," ujarnya.

Setelah mengatakan itu Abian beralih mencengram pergelangan tangan Naura, tidak peduli teriakannya. Rumah Abian kedap suara dan Naura tahu hal itu.

"JANGAN, BIAN! AKU MOHON." Naura menghentakkan kedua kakinya. Kini dia sudah tidak lagi disofa.

DUG

"Argh..." pemuda itu meringis ngilu lututnya ditendang kuat. "Kamu nggak akan bisa lari dariku, Ara." Walaupun Abian sempat terjatuh namun dia berhasil menahan kaki Naura.

Naura memejamkan mata, apa dia memilih pasrah saja. Merasakan tekuk lehernya terasa hangat.

"Aku nggak mau bertindak kasar jadi kamu harus menurut."

Kemudian pintu kamar dilantai satu itu dibuka kasar, Abian tersenyum tipis sembari menepuk puncak kepala kekasihnya itu.

"Bagus, aku emang percaya sama kamu, Ra. Selama ini aku bersedia mendengar keluh kesah, ocehan gak ada mutu sama sekali. Tapi aku perlu timbal balik... cukup kita bermain-main," lanjut Abian.

Air mata Naura semakin mengalir. Pengakuan Abian benar-benar menusuk, jarum kasat mata seakan tepat dihati dan jantungnya. Selama ini Abian tidak pernah tulus.

Naura pasrah, setiap tindakan Abian sore itu menjadi mimpi buruk baginya. Kamera yang sengaja Abian pasang di depan meja, Abian yang berkata enteng tentang pengaman.

Semua benda mati dikamar itu menjadi saksi bisu mahkotanya direbut paksa.

Keterbukaan sang papa yang mulai membaik setelah kejadian itu justru memburuk. Kebenciannya masuk ke dalam jurang terdalam, sulit untuk dikeluarkan. Dia yang kemudian dianggap sebatas aib keluarga Hayden.

"KEMBALIKAN GUNTINGNYA NONA ARA!" Teriakan Mbak Anis menyadarkan gadis itu, raut wajahnya berubah linglung.

Naura mengeratkan gunting yang tengah dia pegang. Seharusnya dari dulu pilihannya mengikuti sang mama, di sini tidak ada peduli. Peduli berujung menyalahkan.

"Aku, sakit...," sahutnya terisak. Naura mundur perlahan sambil mengacungkan gunting, sepasang matanya menatap Mbak Anis. "Aku sayang Mbak An. Makasih, udah rawat aku selama ini."

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang