Raihan memukul keras tembok, wajahnya memerah. Kemeja melekat di tubuh Raihan kusut, rambutnya berantakan.
Pandangan Raihan menatap kosong ruangan NICU, ruangan khusus bayi. Namun, sang pencipta berkehendak lain. Seorang suster menggendong bayi mungil itu, keluar dari ruangan. tidak ada harapan lagi. Seharusnya Raihan sadar, pemaksaan yang di buat berakhir menyakitkan.
Bayi berjenis kelamin perempuan itu kecil, belum saatnya untuk lahir. Berat badannya bahkan di luar perkiraan yang biasanya sering mereka berdua tebak.
"Mohon maaf, Mas." Suster tersebut menatap Raihan. "Sekalipun menggunakan ventilator, semuanya tetap sama. Anak anda meninggal, saat di lahirkan pun tidak menangis."
Raihan tertawa sumbang. "Apa anda harus menjelaskannya secara rinci, saya sudah tau," sahutnya ketus.
Suster itu diam, membiarkan saja Raihan meraih bayi perempuan di gendongannya, berdiri menunggu sampai pemuda itu puas padahal ini ke sebelas kali Raihan mendekapnya.
Dada Raihan sesak, tidak pernah bisa mengira semua ini akan terjadi. Bayinya dingin, jemari Raihan mengusap pipi tipis tersebut, mata sipitnya tertutup rapat, tidak ada deru napas apalagi gerakan.
"Bagaimana keadaan istri saya?" tanya Raihan serak.
"Dokter mengatakan sekarang hanya menunggu pasien sadar, pasien memilih melahirkan secara normal." Suster itu menyahut pelan sambil menerima bayi itu dengan hati-hati. "Apa anda sudah mengizinkannya? Anda tentu boleh melihat semuanya."
Raihan mengangguk, belum sempat mengikuti suster tersebut Nikan lebih dulu menghalangi jalannya begitu pula Danika dan Lovia.
"Bayi lo lahir prematur, tapi kenapa gue merasa ada yang aneh. Bay--"
"Iya, sebelum gue dan Ara nikah. Ara udah hamil duluan ... bukannya kalian tau gue pernah melakukan itu. Gue kaget melakukan hubungan itu satu kali justru memberikan hasil yang baik." Raihan menyela sambil menarik kaos biru Nikan, apa ada salah? Raihan benci tatapan itu.
Lovia di samping Nikan tak tahan mendorong kasar Raihan. "BAIK, LO BILANG? BAIK APAAN? KENAPA LO JADIKAN SEMUANYA RAHASIA!" teriaknya lantang.
Gadis itu tidak peduli dimana tempatnya berpijak. Sekalian saja semua orang keluar, merasakan selama ini tertipu. Naura pasti manggut ketika Raihan menyuruhnya.
"Lo harusnya bilang ke gue, Nikan atau Danika. Ara hamil sebelum kalian nikah, kita semua kaget. Gue merasa bersalah, nggak bisa jagain Ara." Lovia mengacak rambutnya, menatap frustasi Raihan yang terus menunduk.
Raihan memejamkan mata, pertahanannya runtuh. Dia hancur! Kehilangan anak perempuannya, Raihan merasakan perasaan sakit. Mungkin berbeda lagi dengan Naura yang melahirkan bahkan gadis itu memilih normal. Saat Dokter menyuruh operasi sesar Naura justru menolak.
Badan pemuda itu jatuh ke lantai, air matanya menetes. Raihan menutup wajah, bersandar di tembok. Dulu, dia kehilangan orang tuanya. Sekarang kembali kehilangan bayi perempuannya.
*****
Pintu ruang perawatan tersebut di buka perlahan, sudut bibirnya terpaksa melengkung ke atas. Di sini Raihan menguatkan, sebagai fondasi untuk tidak mundur atau jatuh.
"Sayang..."
Raihan berjalan mendekat ke arah brankar, penampilan Naura benar-benar membuat dadanya sakit. Bibir itu pucat paci, air mukanya memperlihatkan kelelahan. Pakaian rumah sakit itu pun walaupun sudah di ganti tetap basah, entah itu air mata atau keringat.
"Rai." Mata Naura berkaca-kaca, kemudian bergeser merapatkan tubuhnya. Sebelah tangan Naura meraih pergelangan tangan Raihan. "Bayi kita udah gak ada? Dia diam. Badannya kecil, katanya sakit. Aku udah teriak, tapi bayinya nggak nangis. Gimana? Dokter udah coba, tapi bayinya tetep diam!"
Raihan menelan ludah, tercengat. Di malam hari baru berani memasuki kamar Naura, memikirkan jawaban pas tertelan begitu saja.
"Dia pergi."
"Meninggal?"
"Iya."
"Kenapa? Tadi itu sakit banget, nggak papa kok. Kita bisa kasih anak kita ASI banyak-banyak. Mpasi atau konsultasi sama Kak Sila."
Gerakan cepat Raihan menahan Naura yang hendak turun dari ranjang, Raihan tau Naura pura-pura kuat, raut wajah itu menunjukkan kesakitan.
"Aku pengen liat bayinya!"
Raihan tersenyum, sedikit menunduk kemudian mendaratkan ciuman di kening Naura. "Kamu hebat, kamu boleh liat bayinya. Aku udah kasih nama."
Naura balas tersenyum langsung bergeser, meminta Raihan duduk di sampingnya. Hati Naura pedih saat Raihan dengan tangan bergetar merogoh kantong celana, menunjukkan ponsel.
"Dia cantik." Sepasang mata cokelat madu itu mengamati lekat sepuluh gambar yang di ambil.
"Raina, mirip kamu."
"Raina?"
"Raina Anindya Dipran."
Naura menyandarkan kepalanya di bahu Raihan, kembali terisak. Di mana dokter meminta agar melahirkan secara sesar, Naura menolak. Dia ingin merasakan rasa sakit mendiang mamanya ketika melahirkan dirinya, memang tidak semudah yang pernah Naura bayangkan. Naura hampir menyerah apalagi ini termasuk pertama kali.
"Kamu hebat."
"Aku gagal, Raina nggak bertahan." Naura mendogak, memandangi wajah Raihan sambil tersenyum pahit. Dia lebih sakit hanya melihat tatapan Raihan. "Bayi kita meninggal, pembunuhnya mungkin udah pergi bahkan nggak merasa bersalah."
Mendengar itu kedua tangan Raihan terkepal kuat, paham maksud istrinya. Gemina? Satu nama itu harus merasakan pembalasan lebih sakit, sangat sakit. Gadis ular dan gila itu sedikit pun tidak mampu sebatas berdiri. Mudah bagi Raihan untuk menemukannya.
****
Seneng deh dapat notif vote dan komen, apalagi pembaca baru :)
Ramein vote dan komennya ya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Ficção AdolescenteNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...