[17] Menikah?

1.1K 117 7
                                    

Naura merasakan tubuhnya sakit walaupun sekedar bergerak, seakan tulang punggungnya patah. Tanpa bisa menahan lagi air mata mengalir di sudut matanya, berapa lama dia tertidur? Dan di mana sekarang Naura berada? Berbagai pertanyaan berkecamuk, tempat ini memang tidak asing.

Yang membuat Naura hampir berteriak saat menyadari di kasur empuk ini dia tidak sendirian. Ada seseorang yang menemani dan kini kedua tangan itu melingkar di atas perutnya.

"Udah bangun ternyata."

Suara khas bangun tidur itu lalu kepala laki-laki itu sedikit condong ke wajah Naura tanpa menyadari Naura yang memberikan pelototan.

"Seharian lo gak sadarkan diri, gue udah takut. Jadi serba salah karena dulu Lovia pernah bilang lo paling gak suka rumah sakit," katanya.

Naura tertegun sejenak jemari Raihan menghapus air matanya, sepasang mata itu membawa kehangatan dan berakhir berdebar di jantung Naura. Rasa nyaman yang ingin selalu Naura rasakan, ketulusan yang jarak dia temui.

"Kamu gak apain aku, kan? Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Naura serak.

Raihan justru tertawa dengan nada santai menjawab, "Kayaknya setelah ini bakal nikah. Gimana? Pasti lo setuju." Kedua alis Raihan bergerak naik turun, memberikan senyuman usil.

Jika tubuh Naura tidak sakit dipastikan Raihan akan mendapatkan cubitan, namun dia tidak bisa mengelak sekarang dirinya takut. Ketakutan membayangi Naura sedekat ini, memori kelam dan pahit itu kembali menghantuinya.

Raihan sadar atas gerakan Naura yang bergerak gelisah dan mata coklat madu gadis itu bergerak liar buru-buru menenangkan, keringat membanjiri wajahnya.

"Jangan takut!"

"Abian jahat..."

Raihan mendengar nama itu disebut refleks mengepalkan tangan, bibirnya berdecak kesal. Sampai kapan trauma Naura menghilang, tidak! Naura secepatnya akan sehat.

"Sekarang lupain Abian, buka mata lo. Gak semua orang kaya Abian." Raihan berbisik lembut sembari mengusap rambut lembab Naura.

Naura menurut patuh, membuka matanya kembali secara perlahan. Menyapu pandangan keseisi kamar. Berbagai macam stiker motor menempel di dinding, warna biru laut cerah dan kuning seakan menghidupkan.

Pelan, Raihan membantu Naura menyadarkan punggungnya pada kepala ranjang kemudian meraih gelas berisi air putih setelahnya membantu Naura minum dengan sendotan bening.

"Gue pernah bilang tempat pulang itu adalah ketempat gue, Ara. Kearah Raihan. Apapun yang terjadi gue pengen kita ke tahap serius, membawa lo pergi dari rumah neraka itu. Janji gue akan selalu ditepati," ucapnya.

Raihan kembali meletakkan gelas ke atas nakas lalu membalas lembut tatapan sendu Naura, dia berujar yakin dan menunggu sahutan Naura.

"Kamu serius?"

"Gue emang brengsek, tapi setelah kenal lo gue sadar walaupun lo selalu bilang kita belum mengenal lama, tapi faktanya kita pernah sahabatan sejak kecil."

Naura tersenyum tipis.

"Aku masih ragu, keluarga aku memang harmonis ... sayangnya saat papa liat anak kandungnya di ruang tamu biasanya akan berubah." Dia terdiam seakan ada batu yang menghalangi tenggorakannya. Perlu beberapa saat Naura untuk berbicara.

"Sepertinya aku memang harus pergi, Rai. Ke arah kamu bukan ke tempat itu."

****

Sudah Naura tebak jika kamar itu adalah kamar Lovia. Sepuluh menit lalu Lovia menjerit bahagia ketika mendengar dirinya sadar.

Gadis tomboy itu benar-benar khawatir dan Naura bersyukur bisa mengenal Lovia. Indekos  Lovia benar-benar ramai, ada Danika dan Nikan kini sibuk berkutat dengan alat dapur.

"Emang lo jago masak?!" Lovia bertanya pada cowok bertindik hitam di telinga itu.

Danika yang diejek gadis itu mengumpat pelan. "Apaan? Gue gak sejago Nikan, tapi gue bisalah potong ayam," sahutnya ketus.

Lovia bersedekap, dagunya terangat angkuh. "Iya, sih. Lo itu cowok paling bahaya. Pantas bisa potong ayam, potong daging manusia aja jago! Dasar psikopat."

Berikutnya Danika dan Lovia melempar tatapan sengit, Nikan yang melihat itu menggeleng heran. Tangan kanannya sibuk mengaduk sop ayam dipanci menggunakan sendok besar.

Sementara Naura yang mulai bosan duduk di kursi, hanya Naura yang tidak kebagian. Semua orang kompak menyuruhnya duduk diam saja mengamati bahkan tadi Raihan sengaja mengatakan dengan cara fokus pada chef Nikan abal-abal secepat itu pula keduanya akan menikah. Raihan aneh!

"Beneran lo mau nikah sama si buaya itu. Harus berpikir ribuan kali dulu," ucap Lovia melirik sekilas Naura.

Naura menggeleng.

"Bercanda, kamu jangan percaya!"

"Kayaknya Raihan gak bercanda sama sekali, dia sekali niat harus banget." Perkataan Nikan membuat kedua gadis itu tersentak kaget.

Lovia memicing curiga. "Hem... tuh, kan. Nikah mendadak kaya gini kalian habis anuan ya?! Padahal perlu dua bulan lagi baru lolos. Ujian juga belum, yang ada Raihan kasih lo batu buat makan!" desisnya terdengar ambigu.

Naura tertawa kaku. Raut wajah Lovia persis ibu sinetron yang paling anti mertua miskin.

"Cuma bercanda, Via. Raihan bilang itu sebatas nenangin aku. Kalaupun iya Rai harus berhadapan sama papa dan itu mustahil, papa bisa ngamuk."

Sebenarnya Naura ragu apa perkataan Raihan sebatas bercanda semoga iya, namun semuanya hancur ketika mendengar suara tiba-tiba di dekat rak piring. Di sana nama yang sedari tadi di sebut menatap tajam.

"Seorang Raihan tentang menikah gak pernah bercanda, gue serius. Naura Rafia apapun yang terjadi lo harus nikah sama gue!" tegas Raihan berdiri tegak di sana.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang