Epilog

1.6K 71 2
                                    

Laki-laki berkemeja biru navy dan berambut cepak tersebut mencoba mengendalikan diri, kedai kopi yang sepi membuat suara sepatunya mengisi ruangan. Dia berusaha untuk bersikap biasa, menarik sudut bibirnya saat mata keduanya bertemu. Keadaan gadis itu lebih baik sekarang, terakhir bertemu. Rasanya di tempat pemakaman dan dengan jelas bagaimana gadis cantik itu terus meneriaki satu nama.

"Ara!"

Nama yang di panggil mengangguk, seakan tatapannya menyuruh duduk. Alta lalu duduk di sebrang Naura, sahabat kecilnya. Sahabat baiknya sampai kapanpun, adik kecilnya.

"Gimana kabar kamu?" tanyanya. Alta tak bisa menyembunyikan raut khawatir mendapati jemari dan telapak tangan itu di penuhi bekas luka kering, tidak mungkin kan Naura menyakiti dirinya sendiri? Ternyata kepergian dia benar-benar membuat Naura terluka dan menderita.

"Aku baik." Si lawan bicara menyahut lirih sambil menyembunyikan tangan ke bawah meja. "Ara ke sini mau minta pendapat, Kak Alta. Boleh kan?" tanyanya.

Alta tersentak, memori kebersamaannya mulai berputar. Mereka yang sering bertukar pemikiran, saling menyimpulkan. Dia yang sengaja sering mendebatkan hal kecil namun itu mengesankan bagi Alta.

"Ini udah dua bulan berlalu." Naura tersenyum miris, seolah menegaskan  masih bisa mampu berdiri. Tentu saja itu semua berkat mereka, orang-orang terdekatnya.

"Ya. Kamu harus ingat ada yang butuh kamu, Fia. Sagas dan Sagara ... twins. Kamu gak mau kan mereka berkembang tanpa or---"

"Itu nggak akan terjadi, Kak!" Naura menyela setengah membentak. Membayangkannya saja membuat Naura ketakutan, setiap tingkah lucu Sagas dan Sagara selalu membuat Naura tertawa. Bagaimana bisa dia meninggalkan anaknya.

Diam-diam Alta tersenyum samar, mendapati iris cokelat itu berubah seketika, nada kesal Naura. Memandanginya tak terima.

"Oke, kembali ke topik. Kamu ke sini pengen ngomong hal penting kan?" tanya Alta.

Naura berdehem, mengingat tujuannya. Dari tempat duduk Naura, melihat dua wanita itu menunggu di sudut kedai. Sesekali melirik ke meja tengah. Naura tertawa pelan ternyata Kak Dara dan Kak Kiara termasuk orang yang kepo dengan urusan orang lain.

Alta menaikkan sebelas alis, tawa Naura berefek juga pada Alta walaupun dia tak tau penyebab gadis itu tertawa.

"Kamu makin cantik kalau ketawa."

Tawa Naura memelan, banyak waktu sudah terbuang. Iris cokelat itu bertemu pandang dengan laki-laki di sebrang.

"Mantan aku katanya pengen donorin jantungnya. Menurut Kak Alta aku harus gimana? Terima atau menolak." Naura membasahi bibir, jemarinya di bawah meja gemetar. Membahas Abian sama saja membuka bagian luka lama Naura.

Alta terdiam tentu mengetahui itu dari Lovia, Lovia memberitahu saat keduanya bertemu di koridor kampus. Gadis itu yang berbicara memasang ekspresi berapi-api, tidak terima.

"Nggak ada alasan kamu untuk menolak. Asal dia ikhlas kamu tau jantung yang akan Abian donorkan itu bisa bermanfaat untuk kamu dan Abian sendiri."

Hampir mirip dengan perkataan yang lain, hanya dua orang sepakat menyuruh Naura menolaknya. Danika dan Lovia, Danika yang terus mengumpati Abian di tambah Lovia terus mengungkap kesalahan-kesalahan Abian.

"Manfaat Abian emangnya apaan?"

"Pahala."

Naura tersedak mendengarnya, kalau di pikir lebih lama. Bagaimana nanti Abian? Kenapa Abian menyerah? Tidak perlu mendonorkan jantungnya, Naura sudah biasa kekurangannya ini.

Sore itu Naura dalam kebimbangan, semua pikirannya bercabang. Yang pasti Naura sadari, hatinya sepi. Kesedihan berusaha tertutupi benar-benar tertekan, Seandainya dia ada, Seandainya dia tau, Naura tidak akan bingung.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang