[33] Hal Manis

725 97 1
                                    

Naura menyisir rambut panjangnya, sudut bibir ranum itu melengkung tipis. Semua ingatan kebahagiaan selalu teringat, malam ini dia akan bertemu dengan sang papa bukan hanya itu... Riani, Gemina, dan Gian ikut serta walaupun Naura sempat takut, tetapi Raihan mengatakan dia pasti selalu di sampingnya.

Pemuda berlesung pipi itu hadir bagaikan penyembuh luka, menerima dia apa adanya. Janji Raihan bukan manis di bibir, sebentar lagi mereka mengikat janji untuk selamanya.

"Makasih." Ucapan itu dapat di dengar pada pemuda di belakang kini tengah mengamati dia memoleskan bedak di wajah.

Raihan memiringkan kepala, tawa pelan mengisi kamar mendekati calon istrinya itu kemudian membungkuk. Bibir itu berada di sisi telinga Naura.

"Aku beneran nggak mau liat kamu nangis, sebelum kita pergi mau kan aku ajak jalan-jalan," bisiknya sembari merapikan anak rambut Naura.

Di saat seperti ini dan terlalu dekat tanpa sekat apapun Naura mendadak bergidik ngeri, menyesal mengajak Raihan berbicara apalagi di kamar Kak Sila hanya mereka berdua.

"Iya, tapi bisa nggak kamu mundur geli soalnya." Gadis cantik itu berusaha agar nada suaranya tertangkap santai. Alarm peringatan seakan berbunyi nyaring jika Raihan terus memasang wajah menyebalkan itu dan Naura semakin salah tingkah, merasakan debaran jantungnya seperti lantai disko.

Raihan menunduk menahan tawa, wajah Naura benar-benar menggemaskan, jemari itu juga bergerak gelisah dengan pelan Raihan membalikkan tubuh Naura menghadapnya.

"Kamu beneran mau kan kita hidup sama-sama."

"Iya."

"Aneh aja aku belum pernah dengar balasan kamu saat aku bilang I love you, kamu pasti cuma manggut."

Naura gelagapan haruskah membalasnya tapi di sisi lain tindakan justru paling nyata, misalkan akhir-akhir ini Naura menerima kencan Raihan, pergi ke Dufan dan dinner.

"Emang perlu di jawab?" Perkataan itu meluncur bebas dari mulutnya. Dapat Naura lihat, Raihan kaget walaupun sebatas sesaat.

"Aku tanya berarti itu perlu, sayang." Raihan dengan sengaja menekan kata sayang kemudian telunjuknya terangkat membelai pipi mulus Naura.

"Yaudah, I love you too. Raihan Dipran!" Naura menyahut setengah kesal, dia hendak beranjak dari kursi kembali di paksa Raihan untuk tetap duduk. Tatapan matanya sudah cukup dimengerti Raihan jika dia ingin secepatnya keluar dari kamar.

"Apa lagi? Aku lagi kepanasan!" Naura mendelik lalu mendorong kening Raihan, dasar cowok mesum! Naura tentu tahu pikiran busuk Raihan seperti tadi pagi memberikannya kiss morning katanya supaya Naura berenergi. Energi palamu!

"Yaudah, sini aku panasin lagi!" Sahutan itu membuat wajah Naura semakin masam. Belum sempat Naura mendorong kembali Raihan, jemari itu mengusap bibirnya yang dua menit lalu dipoleskan lipbalm.

Tubuh Naura menegang sadar tidak ada lagi jarak, punggungnya terbentur ke meja rias di belakang. Naura tidak perlu lagi menebak, bibir itu sudah bertemu dengan bibirnya, saling berbagi. Raihan penuntun dan Naura mengikuti.


*****


Sila mengerutkan kening mobil seketika diisi gelak tawa, malas bertanya. Sila tetap fokus pada jalanan kota yang lumayan ramai.

Raihan melirik ke kaca spion mobil puas memandangi pipi itu yang mulal memerah untuk kesekian kalinya. Dia puas maksudnya sangat puas, mengerjai Naura. Sebatas ciuman, namun faktanya jelas menunjukkan gadis itu ingin lebih dan si korban berkilah.

"Serius, Kak. Manis banget! Gue kira polos ternyata polos di luar." Tawa Raihan mereda, berharap Sila penasaran dan bertanya maksud perkataannya.

"Maksud lo, apaan? Kita bahasa buaya enggak ngerti." Bukan suara Sila melainkan suara Dafa di jok belakang, duduk di samping Naura. Awalnya Raihan protes namun setelah mengerti kondisi dan sifat menyebalkannya Raihan patuh.

"Permen yupinya, manis. Kenyal gimana gitu jadi mau lagi," sahut Raihan menyengir. Memang benar terdapat sekitar lima permen yupi di dashboard.

Raihan mengambil satu, setelahnya membuka bungusan permen itu yang berbentuk hati dengan sengaja menunjukkan di depan Naura.

"Maapin aku, sayang. Buat kamu..." Cowok itu mengulas senyum lebar, lubang kecil di kedua pipinya menambah kesan tampan semakin tampak. "Ambil aja, aku tau kamu pasti lagi sibuk ambil napas."

Naura berdehem, sadar sekarang kedua orang di dekatnya mengira mereka berdua berkelahi. Memang saat keluar kamar, Raihan terus meminta maaf sepanjang jalan barulah laki-laki itu lelah sendiri dan ingin mengatainya kembali.

"Kak Sila, kita mau ke mana?" Pilihan Naura mengabaikan Raihan. Mobil hitam milik wanita itu tiba-tiba berhenti di restoran cepat saji.

Sila tersenyum samar. "Pesan katering untuk pernikahan kalian, sakit deh di langkahin sama adik sendiri!" sahutnya tertawa pelan.

Naura tertegun lama hingga tak menyadari kedua orang itu sudah keluar mobil hanya Raihan yang rela masih memiringkan tubuhnya. Adik? Hati Naura bergetar, Kak Sila begitu baik padanya. Selama sebulan lebih membiarkan dia tinggal di rumah itu.

"Jangan nangis, cengeng!" Raihan menepuk bahu gadisnya tersebut. Dia tahu semuanya terlalu tiba-tiba, Naura selalu dikelilingi orang-orang yang menyakitinya. Sekecil apapun kebaikan, Naura mengatakan makasih dan kesalahan seperti tak sengaja menyenggol gelas plastik saja Naura ketakutan dalam meminta maaf.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang