[69] Penantian Yang Berakhir

1K 81 3
                                    

Pernah merasakan di kala semuanya bertambah rumit dunia tidak berpihak. Di antara perjuangan harus ada yang lain, Naura tercengat. Napasnya naik turun, di satu sisi dia perlu tenang apalagi melahirkan punya riwayat jantung terlalu beresiko.

Naura memejamkan mata, tak sanggup melihat Raihan berjalan sempoyongan ke arahnya. Fokus Naura pecah, tidak peduli di bawah sana Kak Sila dan Lovia di sampingnya menyemangati.

"Rai..."

Naura menangis terisak, darah mengalir di balik kaos Raihan setelah melepaskan jaket kemudian menyelimuti bahunya. Sudah cukup sampai sini, Raihan butuh pertolongan. Tangan Naura mencengram kuat lengan Raihan.

"Kam--"

"Diam, kamu pasti bisa. Ini cuma luka biasa, demi bayi kita. Aku lebih enggak kuat liat kamu kesakitan." Raihan tersenyum, lubang kecil di pipinya terbit. Raihan menyandarkan kepala Naura di dadanya, Raihan menyesal memilih kaos putih melekat di tubuhnya hingga warna merah itu jelas terlihat.

Naura beralih menangkup pipi Raihan, sudut matanya melirik darah yang semakin mengalir di kaos Raihan.

"Kenapa kaya gini, huh. Kamu bikin aku tambah ... sakit," bisiknya. Berikutnya Naura meringis nyeri, ini bukan pertama kali. Dia melahirkan Raina merasakan kontraksi sehebat ini, Naura hanya perlu mengikuti instruksi Kak Sila.

"Ara, rileks." Wanita masih memakai setelan putih itu berkata serius, kepalanya menunduk melihat jalan lahir tersebut hendak terbuka sepenuhnya.

Naura menarik napas mengeluarkan pelan dari mulut, matanya balas menatap iris hitam Raihan.

"Eng..."

"Dorong, Ara. Mengejan."

Bulir keringat membanjiri wajah itu, rambutnya basah dan kemeja yang melekat. Angin malam seakan melengkapi hampir satu jam semuanya menunggu, Lovia di sisi Naura gemetar.

"Berhenti mengejannya."

Naura menunduk dengan napas naik turun, hati Naura sakit telapak tangan Raihan menggengamnya sangat dingin, tapi Raihan justru bersikap biasa saja seakan tidak perih atas lukanya.

"Aku yakin kamu pasti bisa." Raihan tersenyum tulus sambil mengecup kening Naura, Mendengarkan Naura yang mengeluh pinggulnya sakit.

Dorongan mengejan kuat terjadi Naura mengerang ngilu, di bawah sana luar biasa perih seakan ada yang keluar.

"Kepalanya udah muncul, Ara!" Sila mengusap kulit perut Naura. "Rileks, ambil napas kamu lagi."

"Uuuh..."

Naura bahkan tidak tau lagi bagaimana posisinya, pegangan pada Lovia bisa saja menyakiti tangan sahabatnya itu. Naura berteriak bersamaan dengan itu suara tangisan bayi melengking nyaring mengisi gudang di tengah malam, kepala Naura jatuh sepenuhnya di paha Raihan meninggalkan jejak kedut di bawah perutnya.

Raihan mengusap keringat Naura, senyumannya tak memudar. Bergetar memandangi bayi mungil itu, itu anak yang selama ini mereka tunggu terlahir sehat. Sila menyelimuti pelan menggunakan jaket.

"Laki-laki," gumam Sila

Kelopak mata Naura terbuka, duduk bersandar di dada Raihan. "Kita ke rumah sakit, tusukan di per--"

"Kamu hebat." Raihan menyela, kekaguman Raihan pada Naura akan selalu ada. Naura sama sekali tidak mengatakan kelelahan.

Belum sempat Sila memberikan bayi mungil itu ke Raihan, erangan kecil dari bibir itu membuat keduanya tersentak. Naura mengerutkan kening, yang pasti perutnya kembali sakit. Dorongan mengenjan muncul, Naura bergerak gelisah dan takut.

Naura memekik tertahan di bawah sana sesuatu menusuknya, pahanya di buka lebar. Pernyataan Kak Sila mengejutkan Lovia dan Raihan.

"Bayinya kembar!"

Lovia terbahak keras. "Di saat kaya gini Kak Sila bercanda, kakak serius?! Hah, mana mungkin!" Kemudian Lovia terperangah, baru menyadari di pelukannya ini adalah bayi yang baru lahir. Dia syok, belum berpengalaman. Lovia membeku, berusaha menghentikan tangisan bayinya.

"Aku beneran udah enggak kuat, Rai. Rasanya tenaga aku habis." Naura berbisik.

Raihan menggeleng cepat. "Kamu itu hebat, jangan cengeng. Aku kena tusuk kuat. Kamu juga ... masa istri Raihan Dipran kaya gini." Pertahanan pemuda berbibir pucat itu hancur, air bening jatuh membasahi pipinya.

Tidak.

Dia pasti kuat, bibir Raihan tersenyum gentir memeluk Naura lebih erat, terus merafalkan doa. Dia ingin semuanya baik-baik saja.

Di menit kelima Naura mengatur napas, menurut saat Kak Sila memerintahnya mengejan, tenaga Naura seakan sudah habis, dia lelah. Tulang punggungnya seperti remuk.

Bayi kedua yang kini berusaha untuk keluar. Penantian selama sembilan bulan tidak boleh sia-sia.

"Engg..."

Naura meletakkan dagunya ke dada, kali ini lebih susah dari sebelumnya. Tenaga Naura terkuras habis, dia menyerah. Binaran iris cokelat itu pasrah dan Raihan menggeleng cepat, memegang erat telapak tangan istrinya.

"Sa--sakit, Rai."

"Aku yakin kamu bisa!"

Meratapi kesakitan Naura mengingatkan Raihan dengan orang tuanya, kepergian mereka. Dulu, dia yang selalu nakal. Bolak-balik ke sekolah memenuhi panggilan, mama berkacak pinggang di depan pintu di temani papa berseru memotong uang jajannya. Raihan merindukan kebersamaan itu.

Raihan tersentak tangannya mendadak di tarik, hampir memerotes kemeja yang menutup atas tubuh Naura terbuka lebar memperlihatkan perut bulatnya.

"Kamu bisa kasih rangsangan ke Ara," kata Sila. Metode seperti ini termasuk membantu, benar saja telapak tangan Raihan yang mengelus kulit perut Naura dan memijitnya menimbulkan reaksi.

Naura yang meracau sakit kemudian melenguh tiba-tiba, Raihan melihatnya tersenyum. Ada kebahagiaan sendiri mendapati bayi di perut Naura meresponnya.

Secara naruli Naura membuka pahanya lebih lebar, wajahnya basah oleh keringat.

"Kepalanya keluar."

Naura bernapas lega, tinggal sedikit lagi. Dapat Naura lihat Raihan berbinar-binar dan itu menyemangatinya.

"Berhenti mengejan."

Tangan Sila menangkap kepala bayi, menggerakkannya pelan. "Ambil napas kamu, tahan. Keluarin," lanjutnya. Sila tidak menyangka bayi kedua ini membuatnya kesulitan, ini bukan pertama kali banyak pasien yang Sila bantu keadaan mirip Naura.

Naura menguatkan genggamannya di lengan Raihan, mengejan lebih kuat. Hingga di bawah sana benar-benar sarat akan hal membuatnya terpana, Naura berhasil melaluinya. Tangisan bayi kedua mengisi gudang keras dari sebelumnya, bayi merah itu sama dengan sang kakak berjenis kelamin laki-laki.

"Makasih, sayang." Raihan tersenyum tetapi senyuman itu bertambah menyakiti Naura, susah payah Naura berbalik walaupun dia tak sanggup hanya kepalanya yang menoleh, menghentikan Raihan yang berniat bergeser.

"Habis ini ... kita ke rumah sakit, lukanya dalam, Rai. Harusnya kamu langsung ke rumah sakit..." Naura mengigit ujung bibir, menahan marahnya. Raihan konyol lebih memedulikan dia, padahal jelas tusukan itu perlu di obati.

Raihan menunduk, hidungnya basah. Bahunya bergetar dengan napas putus-putus. Raihan merapatkan tubuh, berbisik di samping telinga Naura sementara sepasang matanya memandangi bayi kembar mereka yang di gendong Lovia dan Kak Sila.

"Makasih, kamu perempuan hebat. Hello, baby twins! Papa sayang kalian." Kemudian tubuh Raihan ambruk ke samping, kelopak matanya terpejam rapat. Naura terus berteriak memangil sampai suaranya parau tapi mata itu tidak terbuka sedikit pun.






PART SELANJUTNYA ENDING DI CERITA INI☺ TERIMA KASIH❤

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang