[29] Akhirnya

815 107 2
                                    

Gorden itu tertutup rapat, kamar minimalis di dekorasi layaknya rumah sakit. Bedanya hanya cat yang berwarna ungu cerah, sebelumnya kamar itu sering dipenuhi bunyi patient monitor sekarang tidak lagi. Masker oksigen yang menutupi hidung dan mulut gadis berkulit pucat tersebut telah di lepaskan. Kini sebatas menunggu sadar.

Ketiga orang tadi malam yang mengobrol di kamar itu sudah pulang, menjaga gadis itu satu orang tengah tertidur di sofa. Tepat pukul lima pagi kelopak mata itu bergerak perlahan, erangan kecil terdengar hingga satu nama keluar dari bibir tersebut.

"Raihan..."

Naura tersenyum pahit benar-benar bingung dan malu ketika dirinya menyebut nama cowok itu. Rasanya tubuh ini sakit, tangan Naura bahkan tak bisa bergerak sekedar menghapus air matanya.

Mendadak Naura merindukan Raihan. Apa yang terjadi? Terakhir kali dia mengingat pengawal papanya itu yang mengendongnya.

Gelap dan sendirian tetapi Naura jelas ingat namanya terus disebut dan tangisan yang mengandung luka ikut menyayat hatinya lantas dia bertekad mencari suara itu susah payah lalu matanya dipenuhi cahaya berujung Naura berada di tempat asing ini sekarang.

Naura baru paham setelah sudut matanya menangkap Kak Dafa yang tertidur nyeyak. Berarti sekarang dia di rumah teman Kak Dafa itu.

"Akhirnya, kamu sadar." Nada suara lembut itu terdengar bersamaan pintu kamar di buka lebar, wanita berpiyama bergambar beruang menghampiri dengan leher dikalungi stestoskop sembari menenteng tas di tangan kanan.

Naura tak tau meresponnya, dia membiarkan saja wanita itu memeriksanya. Entah apa yang dia lakukan, tenggorakan Naura terasa sakit jika berbicara.

"Jika kamu istirahat dan minum obat keadaan kamu akan semakin membaik, luka dipunggung kamu memang belum kering tapi luka ditubuh lain sudah," kata Sila. "Aku teman Dafa. Kamu cukup panggil aku Sila!" lanjutnya.

Naura mengangguk dan Sila tersenyum tipis. Botol infus Naura telah Sila ganti dengan yang baru. Peka atas semuanya, Sila membantu gadis cantik itu minum menggunakan sendotan.

Awalnya Naura tidak bisa menyembunyikan raut takut apalagi terhadap orang asing, namun semuanya perlahan pupus.

"Makasih, Kak."

"Kamu memang hebat!" Sila mengepalkan tangan ke atas, tertawa pelan. "Aku beneran nggak tau hidup kamu, Ara. Tapi aku yakin itu semua pasti sakit."

Naura merasakan rambut panjangnya di usap perlahan. Nyaman dan manik mata wanita muda di sampingnya memberikan pancaran bahagia yang dapat tersalurkan juga untuknya.

"Jangan pernah merasa sendiri, banyak yang menyayangi kamu, Ara. Termasuk calon suami kamu ... kalau gak salah namanya Raihan. Dia terus jagain kamu!" Cerita Sila yang berhasil membuat Naura tertegun.

Kata menyerah dan sementara yang itu memang adanya. Sekarang Naura tidak akan menyerah, benar apa yang terucap dari Kak Sila banyak yang menyayanginya. Sementara, kesedihan dan luka yang terus Naura jalani setidaknya memiliki peluang untuk hilang. kebahagiaan yang Tuhan berikan saat mereka datang termasuk cowok berlesung pipi tersebut.


******

Jika sebelumnya Raihan datang dengan emosi yang memuncak kini tak lagi, langkahnya pelan sembari menuntun Kahfi. Di pagi hari keponakannya itu menangis, Raihan yang tidak tega mengajak balita itu untuk pergi jalan-jalan.

"Nanti Kahfi main sama Mbak Anis, Mas mau bicara penting dulu sama Om itu, oke?" Raihan berjongkok sambil menghapus sisa air mata Kahfi.

Reaksi balita itu menggeleng membuat Raihan tersenyum masam, tiba-tiba menyesal mengajaknya, kedua tangan mungil itu terentang.

"Mau ikut..." katanya.

Raihan terkekeh geli kemudian membawa Kahfi ke dalam pelukannya, Tuan rumah mewah di pijaknya kini sudah menyadari jika ada tamu yang datang tanpa berkata lagi Raihan memasuki rumah semakin dalam berakhir di ruang tengah bukan pertama kalinya Raihan berada di sini. Dia duduk di sofa sambil memangku Kahfi, Raihan bersyukur anak kakaknya tidak cerewet.

"Padahal saya pengen ke rumah sakit, tapi melalui sambung telepon Mbak Anis bilang kalian katanya udah pulang," ucap Raihan.

Pria paruh baya yang sedari tadi menatap lurus balita di pangkuan Raihan langsung tersentak kaget, sepasang matanya membalas tatapan Raihan.

"Kamu masih belum puas jawaban saya, bukannya saya sudah bilang kalau saya merestui hubungan kalian. Untuk apa kamu ke sini?" Darel menyahut dingin.

Raihan memiringkan wajahnya, sudut bibirnya melengkung tipis. "Saya berterima kasih karena merestuinya, tapi Om, kan. Harus datang ke pernikahan kami nanti. Sebagai Ayahnya Ara dan Om pasti tau apa kewajiban sebagai Ayah."

Jawaban Raihan sukses siapapun yang mendengarnya tercengang. terdengar biasa, namun memiliki banyak makna.

Riani yang mendengar di balik tembok ikut tersenyum begitupula Mbak Anis yang di sampingnya. 

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang