[45] Nasi Liwet

524 72 2
                                    

Naura menyimpulkan, Raihan memang marah. Berbicara saat perlunya saja, tidak ada lagi rengekan manja. Ini sudah dua hari kejadian itu, Raihan memang masih sama tetapi Naura merasa ada yang kurang. Sekarang kebiasaan baru Raihan, mengusap perutnya sebelum tidur yang berbeda Raihan tidak mengajaknya mengobrol.

Di tengah malam, Raihan tertidur pulas dengan satu tangan berada di atas perut besarnya. Naura menggigit bibir, bantal itu seketika basah oleh air mata. Dia tidak ingin mengusik, Raihan tidak boleh terbangun, hatinya mendadak sakit. Raihan marah karena dia telah berbicara dengan Abian.

"Kamu kenapa?"

Naura terperangah, apa dia kembali tertipu. Raihan tidak tidur melainkan pura-pura atau bisa saja isak tangisnya memang terdengar keras apalagi badan Raihan menghadap ke arahnya.

"Jangan nangis."

Air mata gadis itu justru semakin mengalir deras, telapak tangan Naura buru-buru menutup mulutnya. Cegukan ini datang di saat waktu yang tidak tepat. Naura membuang muka ke arah lain dapat di rasakan Raihan bangun dari posisinya, sudut mata Naura melihat suaminya itu kini tengah duduk dan wajahnya khas bangun tidur.

"Perut kamu sakit, Yang?" tanyanya. Naura menelan ludah, daster panjangnya tiba-tiba disibak kemudian Naura dapat merasakan selimut itu diangkat Raihan untuk menutup pahanya.

Raihan menyibak daster Naura hingga dada, telapak tangan Raihan mengusap kulit perut itu. Jujur, dia tidak mengerti. Raut wajah itu tidak menunjukkan kesakitan tapi kenapa istrinya ini menangis? Raihan dibuat pusing, ketika di tanya respon Naura menggeleng.

"Perut kamu sakit?"

Lagi-lagi Naura menggeleng.

"Terus gimana? Aku beneran nggak ngerti!" Berikutnya Raihan mengerjap, sadar bahwa dia tanpa sengaja mengeraskan suara. "Maafin aku ya? Aku nggak marah, cuma mood aku emang buruk akhir-akhir ini," lanjutnya lembut sambil menghapus air mata di pipi Naura.

"Aku mau makan," ucap gadis itu akhirnya membalas tatapan Raihan ragu. Tenggorokan Naura mendadak terasa kering mendapati Raihan tertawa seakan ada yang lucu.

"Kamu itu cengeng banget mau makan aja sampe nangis. Kurangin nangisnya, nangis buat dada sesek sama sulit napas," jawab Raihan. Tingkah Naura semakin membuat Raihan gemas. "Jadi pengen gigit."

Naura menegang saat Raihan mendaratkan bibirnya di perut besarnya, suhu badan Naura tiba-tiba panas. Gerakan cepat Naura bergeser sebelum Raihan berbuat aneh.

"Aku pengen nasi liwet," ucap Naura kemudian memukul pelan tangan Raihan. Sudah pernah dia katakan suaminya ini mesum dalam keadaan apapun, untuk malam ini Naura menolak. Dia tidak mau melakukan hal lebih dan keinginannya harus terpenuhi.

Raihan terdiam cukup lama. Nasi liwet? Nasi yang direbus menggunakan santan mirip dengan nasi uduk, biasanya di temani suwiran ayam sengaja di potong-potong kecil. Lauknya berbagai macam yang Raihan temui selain itu ada juga bebek bakar, ikan peda, dan ditambahi lalapan.

"Ini udah setengah dua belas, aku nggak yakin restoran aming masih buka," tutur Raihan mengingat tempat makan langganannya itu pasti telah tutup.

"Bukan warung yang kamu maksud itu, tapi warung tenda di jalan merdeka. Aku biasanya sering makan sama Lovia di sana." Naura berkata yakin, berharap Raihan membantunya. Dia benar-benar ingin mencicipi sambal ulekan khas Bu Gris.

Raihan melirik pergelangan tangannya yang di pegang erat Naura, manik mata itu berkaca-kaca bekas air mata tadi.

"Kamu yakin jam segini masih buka?"

"Iya."

Raihan mengulas senyum lalu menuruni ranjang, belum sempat dia memasuki kamar mandi langkahnya terhenti mendengar erangan itu.

"Jangan ikut, nanti aku bungkus. Sekalian semuanya aku borong." Raihan memasang wajah khawatir, baru ingat tiga hari terakhir istrinya itu sering mengeluh keram.

Naura memijit pelan perutnya. "Nggak papa, kata Kak Sila biasa untuk ibu hamil. Aku pengen makan di sana, kita duduk lesehan."

*****

Tidak ada kebohongan dari ucapan istrinya itu, tepat ketika mereka sampai warung tenda putih tersebut masih buka hanya saja tidak ramai bagaimana sekarang jam seharusnya dijadikan untuk tidur. Raihan berharap yang Naura minta belum habis, sesuai keinginan.

Merapikan rambut dan mengeratkan jaket Naura barulah keduanya keluar dari mobil, tangan itu saling bertautan.

"Mbak, nasi liwetnya masih ada, kan?" tanya Raihan pada seorang wanita muda keluar dari warung seraya memegang tong sampah.

"Ara!" Panggilan itu membuat ketiganya menoleh termasuk nama yang dipanggil, Naura tersenyum lebar menghampiri wanita paruh baya yang bersarung batik itu dan Raihan langsung mengekori di belakang.

"Maafin Ara udah nggak pernah ke sini," kata Naura lalu menyalami Bu Gris.

Wanita itu terbahak "Ibu nggak percaya pas Lovia bilang kamu nikah ... nah, kesininya udah hamil. Kamu tau sendiri Lovia sering bercanda. Sekarang Ibu percaya, semoga kamu selalu sehat."

Keduanya kompak mengaminkan, Raihan mengangguk sopan. "Nama saya Raihan, suami Ara."

"Ganteng banget, kamu jago milih suami." Tangan Bu Gris mencubit pipi Raihan. Naura melihat itu mengulum bibir menahan tawanya. "Kamu ngidam nasi liwet ya?"

"Ara juga nggak tau, jam segini pengen cobain nasi liwet Ibu." Naura memasuki warung tenda itu lebih dalam, disuguhi tikar rotan yang tersusun rapi berjarak setiap tikar dua meter.

Raihan mengitari pandangan, sudah dia duga warung ini hendak tutup. "Masih ada kan Bu, nasi liwetnya?" tanya Raihan kembali. Malam ini Raihan jangan sampai melihat raut kecewa Naura.



******

Kira-kira nasi liwetnya ada nggak ya? Rai termasuk suami idaman yang aing cari hihi :")

Ramein vote dan komennya ya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang