Sang raja malam menampakkan diri di langit, bintang tersusun tidak teratur. Angin malam bagaikan tidak menusuk kulit gadis bertubuh mungil dan berkulit pucat itu.
Lima menit yang lalu jam berdentang menandakan pukul satu dini hari, di depan minimarket 24 jam. Gadis tersebut duduk di kursi panjang tanpa ada yang menemani, setidaknya ia berhasil kabur bukan kabur selamanya tapi tidak ada yang mengetahui jika dirinya keluar rumah karena pergi melewati pintu belakang dengan cara mengendap-ngedap.
Terkadang Naura bingung kemana tempat pulang yang sebenarnya. Ia tau hidup selamanya tidak seperti air mengalir, namun ia hanya ingin mengetahui tempat mana yang layak untuk pulang.
Naura mengigit roti setelah bungkusannya ia sobek, sebagian wajahnya tertutup rambut. Tidak boleh ada yang mengetahui Naura sekarang, tanpa sadar air matanya perlahan mengalir.
Makan sambil terisak, di luar sana mungkin sering terjadi pada orang lain. Entahlah apa penyebabnya? Ia benar-benar tidak sanggup tidak makan, seperti biasa hukumannya seharian tidak akan diberikan makanan inilah alasan di balik semuanya.
"Beneran, kan. Ini Ara!"
Pekikan itu membuat Naura tersentak kaget, roti ditangannya nyaris jatuh. Naura berdiri lalu merapikan rambut.
Naura termundur, tidak menyangka ketiga perempuan di depannya kini orang yang cukup ia kenal dan pertanyaan Naura sekarang kenapa jam seharusnya untuk istirahat ketiga orang itu berpakaian seakan baru pulang ke pesta.
Gadis berambut pirang berdiri di tengah tersenyum sinis kemudian memajukan tubuhnya.
"Awalnya gue kaget. Kenapa lo bisa ada di sini? Tapi kayaknya kita hampir sama ya," ucap Runa.
Naura mengerti arti tatapan ketiganya. Satu yang harus Naura lakukan sekarang pergi secepat mungkin, belum sempat ia berbalik cengraman kuat terasa menusuk kulit di balik jaket hitamnya.
"Bawa dia, udah lama kita nggak main-main. Ke sebrang jalan lumayan sepi," lanjut Runa penuh perintah.
Naura berusaha lepas namun sekedar sia-sia, matanya menyapu parkiran tidak ada orang sama sekali. Kedua orang di sampingnya terlalu kuat seakan tidak ingin lepas mangsanya begitu saja.
"Urusan aku sama kalian udah selesai, aku udah nggak sekolah lagi," teriak Naura kemudian menendang kaki gadis berdrees biru itu bernama Gina.
Naura merintih sakit karena tiba-tiba Runa di belakangnya mendorong kuat sampai tubuhnya menghantam tanah.
"Sakit, anjir! Lo emang udah di DO dari sekolah bukan berarti dendam gue sama lo selesai! Lagian Bian setuju kalau gue bikin lo lebih menderita," ungkap Gina sembari berjongkok, jemari lentiknya mengusap pipi Naura. Sebelah alisnya naik melihat ada lebam di sana.
Naura meringis ngilu dengan sengaja Gina menekan lebam di pipinya, air mata yang berusaha ia tahan kembali menetes. Gemetar ia menepis tangan gadis itu.
"Jangan..."
"Sori, gue penasaran. Di kira tadi drama." Gina bergeser dan kedua orang di belakang gadis itu hanya berdiri menatap Naura dengan tatapan kasian.
"Kayaknya dia udah disiksa gitu deh, nanti aja. Besok atau lusa juga masih bisa," tutur Disya.
Runa di sampingnya melongos keras sementara Gina tertawa geli. "Apa dimuka gue keliatan orang penyiksa, gue cuma pengen denger cerita dia bercinta sama Abian."
Naura menegang, perkataan Runa menyakiti hatinya. Luka yang berusaha ia lupakan dan masih basah itu tersiram duri lebih banyak.
"Eh, mau ke mana?!" Gerakan cepat Gina menahan bahu Naura, sepasang matanya melotot.
"... aku harus pergi dan Runa kamu kira aku perempuan seperti apa? Kamu tau Abian orang paling aku benci sekarang."
Runa menyeringai lalu bertepuk tangan, senyumannya bertambah lebar. Sepertinya ia meralat ucapannya tadi untuk tidak melukai.
"ARGH!" Naura menjerit, kaki kirinya di injak keras. "Jangan, aku mohon. Tolong!" Rintihan dari bibir pucat itu terdengar pedih.
Mata Naura terpejam, kedua bahunya bergetar. Jika mereka memang puas, suka rela Naura menyerahkan diri.
"WOY!"
Teriakan itu berhasil mengalihkan fokus ketiganya, Gina menarik lengan Runa menghentikan aksinya.
Cowok memakai badana hitam turun dari motor sembari meletakkan helm ke stang. Langkah kakinya lebar dan kedua tangan terkepal di balik celana jeans.
"Pergi dari hadapan gue sekarang, lonte! Atau kalian habis di tangan gue!"
Disya merinding, berlari lebih dulu meninggalkan kedua sohibnya menuju mobil yang terparkir di sisi jalan.
Runa diperlakukan seperti itu langsung mengangkat dagu angkuh tidak terima apalagi saat dirinya diteriaki hal menyakitkan tadi.
"Emang lo siapa? Gue nggak kenal dan jangan ikut campur," desisnya sinis.
"Siapapun gue, kalau kalian berurusan sama dia. Lihat aja setelahnya kalian akan terima pembalasannya! Pergi atau gue bertindak kasar!!!" Suara cowok itu semakin nyaring. Banyak orang yang melirik dari arah jalan raya tetap saja tidak ada yang berani mendekat.
Sementara Naura mengelus kakinya menyingkirkan tanah bercampur pasir. Setidaknya masih hadir sosok penolong suara serak berat dan basah itu entah kenapa terasa familiar di telinga.
Entah berapa lama ia mendengar perdebatan dan umpatan itu yang pasti dirinya tidak berani mendogak sampai bunyi keras sepatu yang menghentak menjauh.
"Beruntung. Lovia kasih tau gue kalau lo lagi di minimarket perempatan jalan kebetulan gue lewat. Sahabat lo itu khawatir," ucapnya lalu berjongkok di samping Naura.
Sayangnya Naura tak terlalu mendengar perkataan cowok tersebut, tubuhnya gemetar sembari sebelah tangannya menepuk dada.
Dari suara Naura mengetahui satu nama, orang yang menolongnya adalah Raihan pertemuan pertama mereka di taman.
Raihan bergerak ke belakang menahan tubuh ringkih itu, garis wajahnya berubah suram balas mengenggam tangan Naura yang terlihat kesulitan bernapas. Ia bingung melakukan tindakan apa sekarang, hatinya mengatakan tidak boleh bergerak walau sedikit pun dan itu sama melukai.
Jujur ... Naura takut gelap, tapi matanya sudah lelah. Oksigen entah kenapa malam ini sangat pelit memberikan hingga mata bundar itu tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...