[1] Pertemuan

3K 219 11
                                    

"Jadi lo bakal pindah?" tanya gadis berambut sebahu itu, garis wajahnya tidak percaya sembari mengguncang pelan bahu Naura. Bagaimana bisa? Hanya kejadian yang menurutnya konyol itu. Namun dimata orang lain justru rendahan membuat sahabatnya nyaris gila.

"Iya." Naura berusaha agar nada suaranya tak gemetar. Abian dengan tega menempelkan fotonya di mading. "...aku emang bego, mau aja ikut kerumahnya dan aku juga gak sadar ini jebakan."

Gadis berpipi tirus, berambut sebahu sering dipanggil Lovia itu tersenyum miris, ikut prihatin. Ingin sekali ia membalas perlakuan Abian, sekarang hanya perlu memikirkan caranya. Pemuda licik itu benar-benar tidak ingin tersaingi.

"Gue sumpahin dia dapat karma! Deketin lo supaya bisa nendang dari SMA Bintang. Kalau emang olimpiade itu pengen sendiri, Ya nggak papa, kan? Tinggal bilang!" teriaknya sembari mengepalkan tangan.

Naura tertawa pelan.

"Aku dapat surat DO ini, mama dan papa kayaknya udah tau. Sebenarnya aku nggak terlalu berharap untuk lanjut sekolah," tutur Naura.

Ada kesedihan di sana. Lovia mengusap wajahnya segala sumpah serapah dalam pikirannya. Abian Pradina ... pura-pura polos ternyata licik.

"Lo jangan takut, oke? Seorang Lovia nggak akan biarin sahabatnya sendiri dan lo harus tau gue bakal selalu di samping, belakang, semuanya." Lovia berujar semangat.

Belum sempat Naura menyahut kehadiran seseorang berlari menyebrang membuatnya melotot tak percaya. Lovia yang sadar mengikuti arah pandang Naura, sebelah alisnya naik dengan raut penuh tanya.

Perkataan laki-laki itu masih membekas, Naura termundur kaget. Tidak menyangka laki-laki itu justru menuju ke arahnya sembari tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit.

"Kita belum kenalan, cantik. Lo siapa? Keliatan banget muka lo habis nangis. Tapi tetap cantik sih," ucapnya sekarang berada di depan Naura.

Lovia yang sadar sahabatnya tersebut terlihat tidak nyaman buru-buru melindung Naura walaupun itu hanya sesaat karena Lovia menatap sepenuhnya laki-laki itu tak lama bibirnya ikut tersenyum kemudian melompat menghampiri.

"Muka lo beneran nggak asing, bentar gue mikir dulu!" Lovia berpikir keras sementara Naura mendelik.

"Gue ... Raihan, temen SMP lo Loviani, masa lupa." Laki-laki bernama panggilan Raihan itu memperkenalkan diri, terkesan kesal. Apa namanya tidak mudah diingat?

Mendadak keduanya tertawa, lain halnya Naura memutar bola mata, suasana hatinya semakin suram. Kenapa ia jadi terkacangi padahal Naura perlu hiburan.

"Aku pergi dulu." Naura beranjak, berjalan cepat mengabaikan panggilan Lovia. Ia butuh sendiri, semuanya terlalu tiba-tiba. Pengkhianatan Abian menorehkan luka tak kasat mata dan membuatnya jadi sesak.

Naura hampir seperti orang berlari, tentu ia tau kini ada orang lain yang mengikutinya dari belakang. Sepertinya bukan Lovia, mana mau sang sahabat berlari di siang panas begini hanya mengejarnya.

DUG

"Argh..."

Sudah jatuh tertimpa tangga pula--- Rasanya badannya benar-benar remuk, Naura mendorong kasar tubuh laki-laki itu.

"Siapa?!"

"Raihan."

Jika saling memperkenalkan diri urusannya selesai maka Naura akan melakukannya, ia menerima uluran tangan itu.

"Naura. Cukup! Kamu udah tau nama aku Jangan ikutin aku lagi! Apaan sih sok kenal sok deket," ketusnya.

Raihan menyengir lebar kemudian memajukan tubuhnya membuat jarak keduanya menipis, ia menunduk sedikit memajukan wajah ke telinga gadis yang ia temui di taman dua hari lalu.

"Selamat datang ... untuk pertama kalinya lo buat gue merasa beda, tapi sekarang gue bakal jadi pelangi dan menjauhkan hujan," bisiknya lembut.

Naura meneguk ludah, bulu kuduknya merinding. Segala tebakan tersusun rapi. Kemungkinan besar cowok di depannya kini adalah dedemit atau orang sinting.

****

Malam harinya, gadis berambut lurus berpakaian piyama selutut bernama lengkap Naura Rafia Hayden itu menatap pantulan wajahnya dari kaca besar. Ada bekas tamparan di pipi bahkan sudut bibirnya mengalir darah.

"Cahaya sudah pergi," gumamnya sendu. Jemari lentik itu menghapus sisa air mata dengan gerakan pelan, disuruh memilih ia ingin pergi namun sang ayah pasti akan berhasil menemukannya.

Naura melipat tangan di meja rias menyembunyikan wajah, kenapa hanya ia merasakan sesak ini. Apa ada orang lain dengan senang hati mau menerima keluh kesahnya. Ia malu sangat malu.

Ide gila mulai berputar tapi Naura langsung tersadar. Semuanya justru semakin sulit jika ia melakukan itu.

Ting

Bunyi ponsel di samping tangan bersamaan layar tersebut menyala. Ia bernapas lega bukan video call namun pesan masuk, Lovia. Gadis itu sering memaksa setiap malam harus melakukan virtual seakan tau bagaimana keadaannya.

Lovia: Lo ngapain?!

Lovia: baik-baik aja kan

Lovia: gak jawab gue bakal ke rumah lo

Naura: iya, aku sehat

Lovia: SAYANGNYA GUE KAGAK PERCAYA. BESOK-BESOK GUE BAKAL SETIAP PAGI KE RUMAH LO

Naura: dasar ayam

Lovia: ^___^

Lovia: menurut lo raihan gimana

Naura melebarkan mata, entah perasaannya saja ada yang aneh membaca chat terakhir Lovia. Ia masih ingat cowok bernama Raihan itu setelah berbisik langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Naura: biasa aja

Naura: aneh

Lovia: justru aneh menyenangkan nauraku sayang

Lovia: dia terkenal lo pas smp

Naura: oh

Lovia: nanti gue cerita

Naura: terserah

Tidak ada lagi chat masuk setelahnya, Naura meletakkan ponsel ke dalam laci kemudian memandangi wajahnya kembali, sambil menarik tisu lalu membersihkan darah di sudut bibir. Ia tidak boleh menyerah karena Naura yakin ini sebatas sementara.








*****

JANGAN LUPA VOTENYA🌟 YA MAKASIH

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang