[28] Bunga Matahari

818 99 2
                                    

Raihan meraih lima jemari gadis yang masih terbaring lemah di atas ranjang, kursinya semakin merapat. Terakhir Raihan menangis kepergian orang tuanya lima tahun lalu setelahnya dia tak pernah menangis. Kedua bahu itu bergetar hebat, bibir merah tersebut berkata lirih, namun tidak ada sahutan apapun.

Kapan Naura sadar? Dokter yang memeriksa Naura bernama Sila itu mengatakan seharusnya gadis ini sudah membuka mata, tetapi di alam bawah sadar Naura menolaknya. Itu sering terjadi di medis. Di mana pasien lebih nyaman di mimpi berbagai alasan. Raihan menyimpulkan apa Naura takut, ketakutannya lebih dominan.

"Kapan lo buka matanya? Gue kangen, beneran." Raihan berbisik. "...gue jadi rugi tiap hari bawa buket bunga matahari mana mahal lagi, katanya lo suka." Raihan tertawa pelan. Mengamati lebih lekat wajah pucat Naura.

Sudah empat hari saat Raihan ke sini dia terus mengajak Naura berbicara walaupun tidak ada respon sama sekali dan sesuai tekad Raihan ingin memperbaiki nilai dia juga belajar di kamar hampir mirip dengan kamar perawatan bedanya cat di rumah Sila berwarna ungu. Semuanya benar-benar lengkap.

"Gue pengen diajarin matematika."

"Serius, Ara."

"Please, buka matanya."

"Kan udah janji seorang Raihan bakal kasih pelangi tanpa hujan walaupun Raihan suka hujan, tapi gak papa demi Ara semua kebahagiaan dikasih tulus, jadi buka matanya!"

Malam dingin itu Raihan terus meracau tidak pernah adanya hadir bosan, mencium telapak tangan hangat gadisnya. Bibirnya kembali bergetar, tidak ada larangan bagi seorang laki-laki menangis. Justru tangisan lah yang akan membuat semuanya terasa lega.


Tanpa Raihan sadari ada dua orang mengamati di depan pintu.

Dara tersenyum samar mulai mengerti maksud dari sang suami, di sana walaupun yang Dara lihat sebatas punggung adik iparnya keyakinan Dara binaran mata itu sangat lah tulus.

"Aku gak nyangka Raihan nangis. Dia lebih sering pendam kesedihan bahkan aku jarang liat dia kaya gitu, yang dibisa Raihan tunjukkan emosi cuma marah jika orang lain melakukan kesalahan," kata Dara.

Neon yang masih dibuat tertegun menoleh ke samping membalas senyuman Dara, benar adanya. Raihan tidak pernah mengecewakan, sekali adiknya itu memilih menggunakan akal dan hati secara tulus mampu membuat hasilnya diterima, lagipula Neon tidak bisa membantah setiap yang diinginkan Raihan sejak dulu.

"Aku jarang loh liat-liat Rai nangis kaya gitu, sekarang kita jadi pengamat dulu." Dari tempatnya Neon dapat melihat adiknya yang mengulurkan tangan meraih sebuket bunga matahari di meja nakas, bukan hanya satu di meja itu tapi banyak.

Raihan merapikan bunga matahari, dia lupa kali ini membawa yang baru karena terlalu fokus memikirkan nilai ujian sepanjang jalan, dirinya tak singgah di toko bunga. Bunga matahari semalam memang belum layu, tetap harum. Tetapi rasanya bagi Raihan, Naura tidak akan menyukai.

Lantas, Raihan bertopang dagu memandangi kembali hidung dan mulut Naura ditutupi masker oksigen, harapannya kelopak mata itu bergerak tidak pernah terjadi sekedar sekalipun hanya tertutup rapat.

"Kalau kamu bangun, aku janji ngajak kamu ketempat yang kamu suka." Raihan berkata pelan kemudian menegakkan tubuh merasakan bahunya mendadak berat.

Neon tersenyum tipis berdiri di samping adiknya sementara Dara menuntun Kahfi, saking menikmati suasana keduanya sampai lupa Kahfi telah pergi. Balita itu benar-benar lincah diumurnya.

Beruntung pembantu rumah ini menemukan Kahfi yang tengah susah payah membuka pintu utama, saat Dara bertanya ke mana dokter rumah dipijaknya kini asisten rumah itu mengatakan jika majikannya itu praktik di rumah sakit.

"Kalian kenapa di sini?" Raihan bertanya serak, sebelah alisnya naik. Dia tak menyangka Neon secepat itu tau hal tentang Naura padahal Raihan mengatakan hanya sebagian. Neon termasuk seseorang yang terlalu sulit percaya apalagi orang asing seperti minggu lalu.

Seakan bisa menebak apa yang pikirkan Raihan, Neon menjawab tenang.

"Liat cara bicara kamu, nangis di sini. Itu udah pembuktian buat Kakak percaya atas semuanya. Kamu tulus. Enggak ada sedikit pun untuk ninggalin seorang gadis dan kamu bertanggung jawab." Neon menjeda ucapannya sejenak. "...pertahankan tanpa harus kekerasan!" lanjutnya tegas.

Raihan terdiam yang pasti bebannya terasa ringan, pujian Neon mampu membuat hatinya menghangat. Itu berarti kesempatan dia mengikat janji semakin kuat.

Sekarang Raihan perlu menunggu kapan Naura sadar? Janjinya setelah mata coklet madu itu terbuka Raihan akan memberikan senyuman.

*****

Wanita muda di atas ranjang tersebut mengusap perut buncitnya, mendengar ungkapan remaja laki-laki itu mengingatkannya kembali. Riani setuju, Naura berhak untuk bahagia. Tidak ada yang boleh melarangnya, jika anaknya itu ingin menikah muda dan Naura bahagia, Riani ikut bahagia.

Masalahnya sekarang ada di Darel. Darel adalah ayah kandung Naura tentu berhak pada anak perempuannya serumit apapun, kebencian Darel. Riani tidak pernah melihat balasan kebencian dari Naura yang ada hanya tatapan lugu, kesakitan, bercampur satu. Fisik dan batin Naura terluka hebat.

"Aku mohon, Mas." Riani memelas terhadap Darel yang kini membaca koran di atas sofa, wajahnya menunjukkan raut dingin yang tidak mau diganggu.

Kesekian kalinya Riani memohon, baru saja hendak turun dari ranjang agar mendekati suaminya itu dia lebih dulu diperingatkan.

"Jangan bergerak, apa yang aku dapatkan jika aku merestui mereka. Banyak pertanyaan sekarang dipikiranku, bagaimana anak itu dekat dengan laki-laki bernama Raihan itu? Padahal pengawal sering membuntutinya."

"Naura, Mas! Bukan anak itu, sesusah itu menyebut namanya, hah?" Riani setengah membentak, terlanjur tak paham. "Aku ingin kamu merestui Ara dan secepatnya mereka berdua akan nikah!"

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang