[6] Jangan Sentuh

1.5K 147 11
                                    

Perkataan Lovia tidak ada kebohongan sama sekali tepatnya malam minggu. Nomor yang tidak Naura kenal berada paling atas saat dia membuka layar ponsel. Naura menunjukkan reaksi kaget, ingin sekali Naura menolak, tapi mengingat kebaikan Raihan mau tak mau kali ini dia setuju.

Dress pattern hitam putih pas dan cantik di tubuh Naura, dua asisten rumah tangga yang hendak menaiki tangga berdecak kagum, ikut bahagia menatap senyuman di wajah anak majikannya itu. Jika sebulan ini hanya tatapan kosong yang mereka lihat di malam ini pancaran binaran itu sangat ceria.

Terakhir agar dirinya bisa keluar rumah, izin terhadap sang papa. Bibir ranum tersebut terus bergerak mengucapkan matra seakan berhasil Darel mengizinkan dia untuk pergi jalan-jalan.

"Kamu mau ke mana?"

Naura menegang, jarak keduanya masih jauh. Darel luar biasa peka terhadap sekitar padahal tadi sebisa mungkin Naura tidak menimbulkan suara dan pasti terasa menganggu pendengaran.

"Jalan-jalan."

"Yaudah, sekalian jangan pulang." Darel melirik sekilas, tidak sadar jika ucapannya sudah menyakiti hati Naura untuk kesekian kali.

"Rumah Papa yang terakhir, tujuan Ara tetap di rumah ini," sahutnya lirih. Gadis cantik itu menuju sudut ruangan meraih sepasang sepatu.

Terkadang Naura ingin mencium tangan sang papa, namun semuanya sebatas anggan. Saling menatap dan satu ruangan Naura bersyukur. Sampai sekarang ia belum tau letak kesalahannya. Sebelumnya selalu seperti ini dan Abian semakin mempersulit.

Naura tersenyum mengangguk sopan terhadap Kang Jaja-- satpam rumahnya itu, telunjuk Kang Jaja mengarah heboh bergantian pada sosok pemuda jangkung yang duduk santai di atas motor. Naura tertegun dugaannya salah, ternyata Raihan datang lebih awal.

"Padahal sepuluh menit lagi, tapi kenapa kamu udah di sini?"

Raihan menyengir lebar yang membuat Naura berdecak kesal, pertemuan ketiga Raihan terlihat dingin, tapi kini kesan tengil terpampang jelas.

"Demi lo gue rela lebih awal. "

"Terserah."

Naura meraih helm dengan wajah cemberut. Terapkan kesabaran jangan sampai dirinya menggaruk wajah sok ganteng itu.

"Jalan-jalan kenapa motornya besar gini? Scopy atau apa kek, ini malah motor ninja hatori," cibir Naura sembari melompat-lompat kecil. Tubuh mungilnya terlihat lucu. Sedari tadi Kang Jaja yang mengamati dari jarak jauh dibuat tertawa.

Raihan tersenyum geli kemudian mengulurkan tangan.

"Pegangan. ini motornya para sultan," sahut Raihan asal.

Perlu beberapa saat untuk Naura menerima, menyakinkan diri tidak semua orang memiliki sifat sama. sedikit ragu Naura meletakkan telapak tangannya lantas kini ia sudah duduk tenang di belakang.

"Mau ke mana?"

"Rumah Lovia."

"Ngapain? Gue ajakin lo malam mingguan."

"Sayangnya aku nggak mau."

"Lah, belum juga pacaran. Udah bilang sayang aja. Gue maksa kita ke alun-alun."

Naura mendelik, hanya bisa pasrah. Jika nanti dia ke rumah Lovia mungkin saja langsung di dorong-dorong karena permintaannya tidak dituruti.

****

Pemuda berlesung pipi itu menahan senyum, memandangi punggung mungil di depannya. Berjalan lebih dulu memasuki alun-alun kota. Lampu terang berbagai warna mengisi di tambah bunyi air mancur memperindah.

Langkah kakinya berubah cepat berada di samping Naura kemudian merangkul bahunya erat.

"Sekarang gue mau tanya."

Naura tidak terlalu mendengarkan  karena sekarang matanya bersitatap dengan dua orang tengah duduk di kursi pinggir. Sudah terlambat jika dia ingin berbalik badan dan pergi sejauh mungkin.

"Kak Ara."

Bahu Naura menegang mendengar panggilan itu, jangan sampai dirinya kembali dipermalukan.

Gadis berdress biru menghampiri dengan senyum manisnya seseorang mengikuti dari belakang sembari melambai.

"Nanti aku rumah Papa, Kak. Boleh kan? Masa mama tinggal di sana anaknya malah tidur dikosan sempit lagi," ucap Gemina.

Sampai kapanpun pasti ini akan terjadi, kenyataan Riani istri sang papa. Naura awalnya dengan tangan terbuka menerima dua adik tirinya itu tinggal bersama, namun semenjak Gemina menjelekkan dirinya di hadapan Darel semuanya terbongkar.

Gian tak peduli perkataan adiknya. Lebih penasaran pada sosok di sisi Naura.

"Pacarnya ganti-ganti, berapa kali emang lo ditidurin."

Jemari Naura terkepal kuat alasan kenapa dia tidak terlalu suka serumah dengan keduanya sebab setiap perkataaan mereka menyiram lebih banyak duri.

"Jaga ucapan lo?!" Raihan mendorong kasar Gian, hampir saja melayangkan bogeman. Seandainya Naura tidak memeluk lengan Raihan.

Naura menghela napas, jangan sampai dia harus terpancing. Gian dan Gemina pasti akan tertawa.

"Kita pindah tempat, Rai. Aku nggak mau di sini," ucapnya.

"Tapi mulutnya perlu gue kasih sopan santun dulu. Kayaknya umur kita nggak terlalu jauh." Raihan mengeram kesal, dadanya seakan terbakar apalagi melihat senyuman licik di bibir itu. "Sekali lagi gue tegaskan. Kalian berdua, entah benalu dihidup Naura gue bakal singkirin. Jangan pernah sentuh milik gue apalagi nyakitin hatinya."

Gemina yang mendengar nada suara pemuda tersebut terdengar dingin dibuat ciut, buru-buru menyembunyikan tubuhnya di punggung sang kakak.

"Emang lo siapanya dia? Pacarnya? Oh, atau suaminya. Ini bukan Abian deh... masa sih mukanya oplas," jawab Gian sinis.

Kuku-kuku Raihan memutih, kepalan tangannya semakin menguat. Pandangan Raihan menyapu alun-alun kota yang kini ramai, sudut bibirnya terangkat tipis namun di sisi lain berbahaya. Raihan mengembuskan napas pelan berusaha meredam emosinya.

"Yaudah, lebih kita pindah tempat. Lagian gue paling anti sama muka topeng kaya mereka, sok baik," bisik Raihan lembut tepat di samping telinga Naura.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang