Harusnya Zay tidak usah setakut itu kemarin. Manusia yang namanya Delam kan punya nyawa sembilan. Terbukti setelah apa yang terjadi. Hari ini anak itu tampak baik-baik saja walaupun dengan kabel elektroda yang masih tertempel di dadanya, mencuat keluar dari baju pasiennya, tersambung dengan patient monitor yang memonitori tanda-tanda vital dalam tubuhnya.
Sekarang Delam terlihat jauh lebih baik.
Dia lagi cekikikan sendiri, menonton acara komedi di Youtube dengan posisi meringkuk memunggungi Zay. Zay hanya bisa melihat punggung itu bergerak-gerak karena tawa. Nyesel banget kemaren air matanya sempet netes karena dia.Prada masuk, baru kembali dari ruangan dokter. "Lam, lain kali kalo sakit jangan gigit bibir."
"Hm? Apa, Mas?" Delam berbalik, menoleh ke Prada. Dia mendengar masnya memanggil, tapi tidak dengar mengatakan apa.
"Kalo ngerasain sakit jangan gigit bibir,"
ulang Prada. "Kata dokter, kemaren kamu gigit bibir pasti kenceng banget sampe kulitnya ngelupas terus agak bengkak. Mana sini Mas liat." Prada mendekat."Hoo, dikit doang kok." Delam memperlihatkan bagian dalam bibir bawahnya, ada bekas gigitan gigi memanjang, kulitnya mengelupas dengan sisi-sisi yang keunguan dan sedikit membengkak.
"Dokter udah kasih obat tetes biar gak jadi sariawan, lain kali jangan gigit bibir lagi."
Delam hanya mengangguk. Pintu ruangan terbuka, sepasang Kaki jenjang melangkah. Zay dan Prada tampak biasa saja melihat siapa yang datang. Tapi Delam terlihat kaget, meneguk ludah. Sang mami masuk dengan wajah datar.
"Mas, Abang. Mami mau ngomong berdua sama Kakak," katanya tegas tanpa basa-basi.
Prada dan Zay mengangguk, mereka berdua melangkah keluar. Membuat Delam meneguk ludah untuk kedua kali. Mampus. Perasaannya gak enak. Pake ngomong berdua segala lagi, kalo sama gebetan sih gak pa-pa, enak. Kalo sama maminya, yaa ... serem, apalagi mukanya lagi galak.
Delam menaikkan kedua ujung bibir. "Eh, Mami. Kapan pulang, Mi? Kok gak bilang-bilang? Gimana perjalanannya, lancar?" tanyanya basa-basi, dalam hati dia takut. Walaupun tak mengenal banyak tentang maminya, tapi dia tahu dari Zen, kalau Mami lagi marah itu serem.
Tangan Iren terjulur cepat. Delam tak sempat mengelak, kupingnya dijewer.
"Aaaaaaa ... Mami-Mami, sakitt."
Iren tak peduli dengan rintihan Delam. "Siapa yang ngijinin kamu main basket?
Mami kan udah bilang, jangan aneh-aneh, Mami cuma pergi sebentar, kamu udah bikin Mami jantungan!""Udah, Mi. Lepas, Mi. Tar kupingnya copot. Miiiii, lepas, please. Kakak mau pipis."
"Delam!"
Delam terdiam. Mantap. Maminya benar-benar marah. Gak ada embel-embel kakak, mana pake nada tinggi.
"Siapa yang ngizinin maen basket?" Iren mengulang pertanyaan, menatap Delam tegas.
Seumur hidup Delam tak pernah dimarahi maminya. Mata bulatnya menatap kikuk. Menciut. "Kasian, Mi. Point guardnya tiba-tiba sakit. Itu pertandingan final, masa aku gak bantu," sahut Delam dengan suara pelan. Takut. Kepalanya menunduk.
Iren melepaskan jeweran. Menatap Delam tajam dengan tangan terlipat di dada.
"Kasian? Orang lain kamu kasianin. Diri kamu sendiri nggak?"
Delam makin terdiam. Yaudahlah, diem aja. Dia ngomong dikit juga tar pasti salah.
"Mami ngelarang kamu basket bukan karena gak suka. Sekarang jangan dulu, nanti kalo udah sembuh boleh kamu main lagi, sepuas hati pun gak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu