"Mampir bentar, ya."
Ayya mengangguk, melepas sabuk pengamannya lalu keluar dari mobil. Dengan senyum tipis, Tama memanjangkan tangan, merangkul bahu putrinya, melangkah bersama memasuki supermarket. Ayya mengikuti sang papi yang mendorong troli, membeli kebutuhan untuk mereka dan Delam, di rumah sakit. Dia menggigit bibir saat papinya mengambil tiga kantong diapers untuk dewasa. Kapan Delam sembuh? Jika sembuh terlalu muluk-muluk, ya setidaknya, kapan keadaan Delam kembali normal seperti sebelum masuk rumah sakit? Setiap kali mengingat kondisi kakaknya yang tak kunjung baik, Ayya selalu jadi murung.
"Ayya mau apa? Kok gak borong jajan? Biasanya anak Papi suka ambil banyak coklat."
Ayya menggeleng. "Nggak, ah. Masih banyak di rumah."
"Terus mau apa? Cemilan? Ini trolly belum penuh lho, biasanya Ayya yang menuhin."
"Bukan cuma aku, Zen juga." Ayya memberengut, tak mau terkesan rakus sendiri.
Tama terkekeh. "Iya anak kembar Papi, dua-duanya emang jagonya jajan. Jadi, ayok, ambil yang Ayya mau."
"Sekarang Ayya lagi gak mau beli apa-apa. Udah yuk, Pi. Cepet ke rumah sakit." Ayya menggandeng lengan Tama, menariknya pelan, tak lepas sejak memasuki supermarket. Gadis kelas dua SMA itu tetap semanja dulu tak peduli banyak orang yang melihat, habisnya walaupun tua papinya masih banyak yang lirik. Jadi, harus Ayya jaga.
-
Saat memasuki ruang rawat, Ayya disuguhi pemandangan yang membuatnya lagi-lagi menggigit bibir dengan wajah sendu, tapi ekspresinya berubah seiring kaki melangkah. Kakaknya meringkuk, membelakangi sang mami yang sedang mengusap-usap punggungnya lembut. Nasal kanul masih bertengger di hidungnya, deru napasnya masih terdengar berat. Lenguhan atas rasa tak nyaman terus keluar dari bibir yang sedikit terbuka itu.
"Udah dibeli semuanya, Pi?"
"Udah ini." Tama mengacungkan dua kantong besar yang dia bawa lalu meletakkannya dekat sofa. Mendekati Delam, kemudian mengecup singkat keningnya, rutinitas dari beberapa hari belakangan.
Mata Delam selalu terpejam, tapi tak tidur. Tarikan napasnya terdengar begitu dalam, panjang, dan susah payah. Mata itu terbuka, melenguh. Menggerakan tubuhnya perlahan, jadi telentang. Tangan Delam mencengkram pelan selimut, mengerang kecil, nyeri dan rasa menghimpit di dadanya tak hilang sejak semalam.
"Ssssssshhhhhh ...." Iren yang bertugas menenangkan. Mengusap-usap dada atau punggung putranya sejak semalam, bahkan dia tak tidur, menapik kantuk dan pegal di tangan.
"Mau minum susunya sekarang?" tanya Iren lembut.
Delam mengangguk pelan. Matanya yang setengah terbuka mengedar, ada Ayya di sofa sedang memandangnya. Sadar Delam melirik, adiknya itu mencebik.
Tama membuka kantong belanjaan, mengambil sekotak susu coklat berwarna hijau. Membukanya, lalu menuangkan pada gelas. Setelah memberi sendok, Tama berikan gelas itu pada Iren. Tadi pagi dengan suara pelan, Delam meminta susu coklat kesukaannya.
"Bismillahirahmanirahim. Obat ya, Kak," ucap Iren, kemudian memberikan susu itu dengan sendok.
Ayya menitikan air mata, langsung dihapus cepat seraya mengalihkan pandangan. Satu minggu kondisi kakaknya tak kunjung membaik. Setahun yang lalu, Delam sering masuk rumah sakit dan beberapa kali, Ayya menyaksikan kesakitannya langsung. Tapi rasanya tak pernah setakut sekarang. Entah sekarang, maminya diam-diam selalu kepergok menangis walaupun pintar menghilangkan sembab, tapi Ayya lihat, wajah cantik itu tak pernah secerah biasanya lagi. Papinya pun selalu tampak termenung, dan akhir-akhir ini selalu mengecup kening kakaknya. Masnya, Ayya tak sengaja dengar, beberapa kali menolak klien luar kota. Dan abangnya, selalu pulang dari kampus lebih awal, yang biasanya super duper sibuk sekarang seperti mahasiswa biasa. Ayya hanya merasa janggal saja, seolah hanya dia dan Zen yang tak tahu apa-apa dan beraktivitas seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu