Iren terbangun saat suara pasien monitor jadi lebih keras dengan bunyi cepat tak beraturan. Kesadarannya masih di ambang mimpi. Lampu menyala. Menampakkan Tama yang panik menekan tombol darurat. Iren seperti orang linglung. Masih mencerna ini mimpi atau nyata. Napas putranya tampak tersendat, berusaha meraup udara dengan mulutnya yang terbuka lebar di balik masker oksigen. Kepalanya terdongak, terlihat sebegitu kesulitan untuk menghirup oksigen.
"Eu--"
Lalu tangannya terangkat, mulai mencengkram dadanya yang membusung. Tak ada erangan yang keluar, mulutnya hanya terbuka, terdengar mencekat di tenggorokkan, seperti ada yang akan menarik sesuatu dari dalam tenggorakkannya. Lengan Tama dicengkram sangat erat. Mata merah Delam terbuka lebar dengan air mata mengalir dari sudutnya.
"Ini Papi, Delam. Jagoan Papi kuat. Jangan sekarang, Nak ...."
Suara pasien monitor yang makin cepat, membuat Tama semakin panik tak karuan. Cengkraman tangan Delam di tangannya semakin mengerat. Suara tercekat yang menyakitkan, semakin terlihat menyiksa. Tama kelabakkan, tangannya bergetar memegang kening Delam. Sementara Iren baru sepenuhnya tersadar saat tubuhnya diraih Tama, ditarik pelan, turun dari ranjang begitu dokter dan beberapa perawat datang dengan terburu-buru.
"Delam .... " panggil Iren pelan, melihat tubuh putranya yang masih menggeliat, berusaha untuk mendapatkan udara, dan tangannya mencengkram erat letak jantungnya. Entah sesakit apa sampai membuat urat-urat di lehernya lagi-lagi ikut menegang. Mengingatkan Iren pada hari itu.
"TAMA, DELAAMMMM!" Iren baru histeris setelah Tama membawanya keluar ruangan sesuai intruksi dokter.
"Nggak, Tama. Ini gak boleh terjadi. KAK, KAKAAKK!!!!! INI, MAMIIII!!"
Tama menarik Iren yang melepaskan diri darinya, lalu melangkah cepat ke arah pintu. Tama langsung memeluknya erat. Mengunci Iren yang berontak di pelukannya.
"Nggak, aku gak siap, gak akan pernah siap. TAMAA, ANAKKU!!!!! KAKAKKKK!!!"
Tubuh Iren meluruh, meraung keras di dada Tama yang ikut luruh ke lantai karena menahannya.
"Gak boleh, Tama, anakku gak boleh pergi," raungnya. Tama ikut menangis sembari memeluk tubuh itu.
--
"Bang, Abang belom jawab, kenapa tiba-tiba jemput? Langsung izinin ke pembina lagi."
Ayya dan Zen berjalan di belakang abangnya, keluar dari lobi sekolah, menuju parkiran. Zay sebagai alumni yang dikenal seluruh warga sekolah, berkali-kali menyapa, tersenyum, menganggukkan kepala, dan salam kepada guru-guru dan pegawai sekolah. Sibuk sekali bertegur sapa sampai-sampai mengabaikan pertanyaan adiknya. Ayya terus bertanya penasaran, sedangkan Zen sejak tadi bungkam.
Sampai ketiganya masuk ke dalam mobil. "Ke rumah sakit, ya. Delam masuk ICCU," Zay baru berbicara. Raut wajahnya berubah, tadi terlihat cerah sekali, tersenyum lebar pada pegawai-pegawai sekolah yang menyapa ataupun guru-guru, sekarang seketika wajah itu tampak meredup.
Zen menunduk. Dia sudah ngeuh, pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Nggak mungkin, Abang jangan sok tahu. Kata Mami, Delam baik-baik aja kok, kata Papi juga," sangkal Ayya.
Zay menelan ludah, dia pun masih kaget. Baru diberitahu satu jam yang lalu, papinya menelepon. Zay juga belum ke rumah sakit, tadi menenangkan diri sebentar, lalu menyelesaikan segala urusannya di kampus, kemudian baru ke sekolah Ayya dan Zen untuk menjemput kedua adiknya itu. Dia juga masih berharap, ini tidak benar-benar terjadi.
"Ay, detik ini Delam baik, detik berikutnya bisa aja jantungnya berenti," kata Zay. Bukannya Zay jahat, hanya ingin Ayya menyadari. Zay pun sebenarnya tak ingin mempercayai fakta itu, tapi begitulah adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu