Drrtttt ... Drrtttt ...
"Bentar, Jeng! Gue baru mau keluar ini. Nunggu di luar lo ngomel, disuruh masuk lo kagak mau ... iye bansad bentar."
Delam memakai sepatu Jordan merah hitamnya yang sudah lama sekali tak terpakai, dia punya beberapa, tapi sudah beberapa lama ini semuanya hanya teronggok begitu saja di lemari sepatu, karena dia hanya ingin memakai jordan saat bermain basket saja. Bibirnya tersenyum miring melihat pantulan diri di cermin, setelan baju basket merah dengan legging hitam 3/4 yang menutupi kaki sampai satu jengkal di bawah lutut dipadu dengan Jordan merah hitamnya. Sempurna. Hanya dengan setelan ini Delam merasa tampan.
"WOI, BANGSAT! LO DI MANA?!"
Suara teriakan dari telepon yang belum dia tutup menghancurkan gejolak gairahnya.
"Iyyya, Monnyyet! Bentar." Delam mengambil tas selempang, memasukan power Bank dan obat-obatan yang sudah dia siapkan. Segera keluar kamar sebelum si penelepon berteriak kembali.
Ini hari Sabtu, sekolah libur. Toni mengajak Delam main basket di salah satu gor kota, Beno yang bukan pembasket pro pun ikut. Katanya mau tanding seru-seruan gitu sama squad game moba--komunitas gamers moba analog, tapi kali ini tandingnya basket bukan ngegame.Delam melangkah cepat menuruni tangga, bertemu dengan Mbak Yul yang membawa nampan berisi roti bakar dan segelas susu coklat,
"Pagi, Mbakk." Delam membuat langkah mbak Yul terhenti, lalu mengambil roti bakarnya dan meneguk habis susu coklat di nampan itu.
"Lah, Kakak, ini buat Ayya, tadi pesen ke Mbak, mau dianterin sarapannya."
"Suruh turun aja, Mbak! Manja bener mau dianterin. Makasih, Mbaakkkk."
Delam kemudian melangkah cepat menuruni tangga, jalan sambil sarapan, nyolong roti punya Ayya.-
"PAGEEEE!!!!"
"Bodo amat."
"Ambekan lu, telat dikit juga," sahut Delam enteng sembari menarik tisu yang ada di dashboard mobil Toni, mengelap keringatnya yang belum apa-apa udah deras aja. Capek lari-lari dari kamar sampai keluar rumah, dilanjut mengayuh sepeda sampe gerbang.
Toni dengan wajah tertekuk melajukan mobil. Bodo amat. Dia udah nunggu setengah jam, si Pe'a ditelepon baru bangun tidur. Yang janjiin jam pagi dia, yang telat juga dia.
-
"Lam, lo maen lagi gak?"
"Bentaran dah, masih butuh ngaso gue."
"LAM."
Delam mengacungkan kelima jarinya. "LIMA MENIT LAGI GUE GABUNG!" teriaknya. Dia duduk selonjoran menyandarkan punggung pada tembok, memandang teman-temannya yang lain yang kembali ke lapangan.
Perawakkan Delam memang tidak termasuk dalam kriteria ideal pemain basket pada umumnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi dan berisi, tapi justru karena itu Delam diakui sebagai pemain yang gesit membawa si bola orange dengan keterampilannya mendribble dan gerakkan cepatnya. Perihal tangannya yang tak bisa menggapai ring, itu tak masalah, Delam jago menshoot dari jarak jauh, selalu tepat sasaran.
Tapi lagi-lagi kelemahannya ada pada pernafasan, hal yang sejak dulu belum juga bisa Delam atur. Belum setengah jam bermain, napasnya sudah mulai kacau dengan peluh membanjir, selalu seperti itu. Seperti kali ini, dia memaksakan satu jam bermain. Bagi orang itu belum seberapa, tapi untuk Delam, udah kayak abis lari maraton dari Sabang sampe Merauke, bahkan tarikan nafasnya sekarang terasa sakit.
Delam memandang ke tengah lapangan sembari terus meneguk air, berharap napasnya cepat kembali normal. Ingin segera bergabung kembali dengan teman-temannya, kerinduannya belum terpuaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu