"Kak, Papi pergi lagi, ya."
Delam antara dunia mimpi dan dunia nyata saat merasakan ada Tama duduk di tepi ranjang memegang lengannya.
"Gak ada Papi, baik-baik, ya."
Delam mengangguk. "Iya," menyahut sekenanya. Matanya masih lengket untuk sekadar membuka.
"Nurut apa kata Mami."
"Heem." Untuk yang kedua kali Delam hanya menyahut dengan gumaman karena dunia mimpi berhasil menariknya kembali. Yang dia rasakan terakhir kali adalah kecupan lembut di kening. Setelah itu tak tahu, dia tenggelam ke dalam dimensi lain.
--
"Kak, bangun."
Tepukan pelan pada pipi diiringi suara lembut, menarik paksa jiwa yang sedang berlibur di Kuta-Bali bersama kawan-kawan. Menyadarkan kalau kenyataannya liburan itu hanya kejadian satu tahun lalu yang terulang kembali dalam dunia mimpi. Delam mengerjap mengangkat wajah yang semula bersembunyi di selipan guling.
"Jangan kelamaan ah kalo tidur. Jelek tahu. Kamu itu kalo lagi gak bisa tidur, sampe pagi gak tidur. Kalo lagi pules, sampe siang gak bangun."
Delam menggeliat, tak mengindahkan celotehan yang terdengar, kemudian dia menengok jam digital yang ada di nakas.
Pukul 9.a.m. Masih pagi juga. Iren duduk di tepi ranjang, sedang memandangnya."Papi tadi berangkat jam berapa?" tanya Delam. Tiba-tiba teringat sosok Tama yang tadi pagi tumben pamitan di kala sinar matahari telah masuk melalui celah gorden kamar, padahal biasanya papinya itu berangkat di pagi buta saat matahari saja masih tertidur pulas, dan tidak pernah pamitan karena tak mau mengganggu tidur putra-putrinya.
"Jam tujuh."
"Penerbangan siang?"
Iren mengangguk. "Iya, gara-gara bangunnya kesiangan. Mami juga ikut kesiangan lagi."
"Kok bisa kesiangan?" tanya Delam. Yang dia tahu papinya adalah orang yang selalu ingat waktu, telat atau kesiangan tak pernah ada dalam kamusnya, kecuali karena memang ada kendala. Maminya beranjak mengambil baju kotor di keranjang, memasukkan ke dalam kantong untuk dilaundry. Terlihat jadi kayak kikuk gitu.
"Ya, bisalah. Kamu aja sering bangun kesiangan. Kak, kamu itu ganti baju berapa kali sehari, sih?! Banyak banget baju kotor," omel Iren, kesannya mengalihkan topik.
"Mami gak niat bikin adek lagi kan semalem?" tanya Delam dengan nada tak sukanya yang penuh selidik. Tiba-tiba saja terpikir itu.
Iren langsung menoleh.
"Gak ada ya bikin adek lagi. Anak udah pada tua juga. Kalo mau bayi nanti aja dari Mas Prada. Gak mau adek lagi aku! Apalagi bayi."
Mata Iren menatap datar. "Ngomong apa sih, Kak? Masih mimpi, ya kamu? Ngaco ngomongnya. Dah, ah, Mami keluar dulu, udah ditungguin sama orang laundry. Sekalian bawain sarapan."
"Aku musuhin ya adeknya kalo iya!" Delam mengancam dengan wajah sungguh-sungguh.
Iren yang sudah ada di ambang pintu, menghentikan langkah, kembali menoleh dengan tatapan menyipit. "Apa sih, Kak? Adek itu disayang bukan dimusuhin," ucap maminya.
"Tuh, kan? Mami bikin adek lagi!" Delam bersuara dengan volume tinggi. Yang semula tubuhnya berbaring jadi refleks duduk. Menatap Iren dengan kening mengkerut.
Iren mendecak. Ini anaknya kenapa sih. Dia masuk kamar putranya itu, tadinya buru-buru mau ambil cucian, dan ternyata si penghuni kamar masih tidur, jadi Iren bangunkan dulu. Eh, malah dituduh yang nggak-enggak. Iren pikir daripada menanggapi lebih jauh ocehan ngelanturnya, mendingan buru-buru stor cucian ke kang laundry yang lagi nungguin, tapi malah jadi panjang gini pembahasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu