Kepalanya celingukan, melihat kanan-kiri, memastikan tak ada sosok sang ibunda. Tadi pagi sih maminya pergi sama Ayya, sepertinya belum pulang. Aman. Delam mengayunkan kaki memijak anak tangga.
Baru kemarin pulang dari rumah sakit setelah empat hari full bedrest, rasanya badan kaku semua. Ada yang mau Delam ambil di kamarnya, lagian kangen juga sama kamar yang sudah lama tak dia huni. Gara-gara Iren terlalu parno. Masa Delam naik tangga aja tak boleh, padahalkan Delam tak akan mati semudah itu. Yakali, cuma gara-gara naik tangga.
Bibirnya tersenyum saat kakinya sudah menapak ubin lantai dua. Suasana adem lantai dua ini juga yang dia kangenin.
Kakinya melangkah lagi beberapa langkah sampai di depan pintu kamar.
Delam langsung membuka pintu, masuk dan menutupnya kembali pelan-pelan."Gue kangen banget wanginya," ucap Delam. Menarik napas dalam menikmati wangi kamar yang dirindukan kemudian dia melangkah ke depan, menggeser pintu kaca menuju balkon.
"HEI, DELAM!"
Suara nyaring memanggil. Delam langsung menoleh ke balkon samping.
Lah, banyak setan."Sok kenal banget manggil gue," katanya judes. Balkon kamar Zay rame. Ada gengnya sama pacarnya, Zaynya juga ada. Lagi pada ngapain dah mereka, tumben banget maen, pikir Delam, moodnya hancur seketika. Niatnya ingin menikmati angin semilir dari balkon barang sejenak. Eh, ada manusia-manusia bedebah itu, gak termasuk Bunga, kalo Bunga mah tak apa-apa malah bikin tambah adem, sama Mahes juga dah, ada adem-ademnya.
"Sombong bener, baru kemaren kita jadi sohib." Ya, itu Erdin, yang tadi berteriak memanggil. Memang cuma dia yang sok kenal.
"Ogah!" sahut Delam ketus. Mendelik lalu berbalik, masuk kembali ke dalam kamar. Delam ke kamarnya mau ngambil sepatu, tak bisa lama-lama, tadinya mau tidur dulu melepas rindu dengan kasurnya tapi nanti ketahuan Iren. Hhhhhh ... karena keparnoan yang tidak jelas maminya itu. Delam bisa diceramahin cuma gara-gara naik turun tangga ke lantai atas. Ya, kenapa juga tangga di rumahnya harus dibikin terlalu panjang, kan jadi bikin capek.
"Abis dari mana, Kak?" Saat turun ada Zen yang lagi minum susu dingin di gelas, jalan dari dapur mau duduk di sofa.
"Dari atas," Delam menyahut seadanya.
"Mau ngapain bawa sepatu?"
Zen kepo, matanya tak lepas dari sang kakak yang sekarang sudah berjalan melewatinya.
"Mau dipainting," sahut Delam singkat, tak ada minat untuk menyahut.
Zen bangkit membawa gelas dan satu bungkus Snack yang belum sempat dia buka, mengikuti Delam yang masuk ke dalam kamarnya. Zen duduk di sofa, memperhatikan Delam yang mondar-mandir balkon-kamar, mempersiapkan peralatan untuk menggambar sepatu Conversenya yang berwarna putih polos.
Daripada gabut mending warnain sepatu yang sudah bosen dipake. "Lo ada sepatu yang mau dipainting gak?" tanya Delam. Tak tega juga melihat adiknya yang cuma duduk di sofa, melongo kayak orang bego.
Senyum Zen merekah "Ada, bentar ya gue ambil," sahutnya langsung berlari keluar kamar.
Delam di tempatnya, jadi cengo. "Lah, gak ada basa-basi dulu apa, langsung bilang ada aja bocah."
-
"Cuma diciprat-ciprat doang?"
Mata Zen melebar. Delam kembali setelah menaruh sepatunya di meja yang ada di balkon agar terkena tiupan angin.
"Heh, pake teknik ya. Bagus, kan, noh?!"
sahut Delam agak sewot. Tak ridho hasil karyanya dibilang 'cuma'.Zen mengangguk. "Bagus sih," ucapnya tapi kemudian mendecak. "Tapi gue pikir mau dilukis. Kan Lo jago, Kak, kenapa gak dilukis aja, sih? Heran gue, punya bakat, tapi gue gak pernah liat lo pake bakat lukis lo itu, sesekali doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu