Dua hari berlalu. Prada selesai membereskan pekerjaan, mengambil cuti panjang. Mempercayakan semua--sepenuhnya pada partner kerjanya, jika ada apa-apa mereka bisa berhubungan virtual. Besok dia akan terbang ke Singapore menemani mami dan adiknya, sebagai sulung dia yang harus menggantikan Tama dalam hal apa pun jika papinya berhalangan. Walaupun Iren mengatakan, Prada tak harus meninggalkan pekerjaannya, tapi Prada lebih tak mungkin membiarkan maminya pergi sendiri menemani adiknya.--
"Kak, kebiasaan deh kalo pergi-pergi koloran aja kayak gitu."
Delam melihat sejenak penampilannya yang dikomentari Iren, lalu melanjutkan langkah pelan karena bengkak di kakinya masih tersisa. Menarik kursi meja makan dengan acuh.
"Biarin, Mi, fashion kakak kalo ke airport memang tiada dua," kata Ayya.
"Gak pa-pa, kakakku cakep kok."
Yang muji seperti itu sudah pasti kembarannya Ayya, fans terselebungnya Delam. Senyum Delam merekah, memanjangkan tangan untuk bertos ria dengan Zen. Ayya melengos. Dikasih apa sih Zen sama Delam sampai segitunya.
-
"Bang, titip Ayya sama Zen, ya."
"Iya, tenang aja, Mi, aman," sahut Zay. Dia yang mengantarkan ke bandara,
menemani sampai tiba waktu keberangkatan. Kebetulan hari ini tak ada kelas pagi."Abang juga jangan makan sembarangan, kalo pesen makanan jangan yang cari penyakit. Mending makan masakan Mbak aja, jangan aneh-aneh. Jangan belajar sampe lewat tengah malem juga. Jangan keseringan begadang."
Zay mengangguk-angguk, mendengarkan petuah sang mami.
"Mami pergi." Iren melepaskan pegangan tangannya pada lengan Zay.
Prada dan Delam sudah pamitan duluan, kedua saudaranya itu melambaikan tangan. Prada dengan senyuman tipis dan Delam dengan wajah males-malesan, mau tak mau dia pergi, terpaksa.
-
Setelah tiba di negera tetangga, mereka mengistirahatkan tubuh terlebih dulu di hotel. Mungkin besok baru pergi ke rumah sakit. Janji temu dengan dokter yang merupakan teman baiknya Dokter Widjaya itu, sudah dari hari kemarin.
--
Iren tak tega membangunkan Delam yang masih tertidur pulas. Melihat putranya yang satu itu tertidur nyaman dengan dengkuran halus, ada ketenangan tersendiri dalam hatinya.
"Mami udah--" Kalimat Prada yang baru membuka pintu kamar hotel maminya, terhenti.
"Bentar, Mas. Mami bangunin dulu."
Prada mengangguk, masuk ke dalam kamar hotel. Duduk di kursi dekat jendela kaca lebar yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi dan jalanan yang apik, tapi perhatian Prada bukan pada pemandangan megah itu ... adiknya yang sedang mengulet dan tampak tak mau dibangunkan, lebih menarik perhatian. Muka Delam sepet banget dari kemarin. Keningnya mengkerut terus dengan sorot mata tajam. Tapi selalu jatuhnya gemas sih, bukan seram.
-
"Makasih, Mas," ucap Delam begitu Prada meletakkan semangkuk sereal dengan guyuran susu vanilla ke hadapannya.
Ada beberapa menu sarapan di meja. Roti panggang, pancake, sosi, telur mata sapi, beef bacon, salad buah, dan lain-lain. Padahal yang makan cuma bertiga, tapi Prada mengambil bermacam-macam untuk adik tercintanya, yang kalau sarapan di rumah mintanya sereal, tapi suka nyomot makanan lain dari piring si kembar.
"Mas udah sewa mobil." Prada memulai pembicaraan disela menikmati sarapan.
"Lho, kapan?" tanya Iren sembari menyuap pancake.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu