Demi pasang surutnya air laut. Ayya lebih memilih melihat Delam yang narsis dan bertingkah aneh, walaupun jijik. Atau lihat Delam yang judes dan galak, itu lebih baik. Ayya paling tidak suka melihat Delam yang tak berdaya, itu menyakitkan.
--
"Digendong ya, sama Abang? Ke kamar?"
Delam yang menenggelamkan wajah pada lipatan tangan di meja, akhirnya mengangguk pelan. Sang mami yang sejak beberapa menit lalu berdiri di sampingnya menyembunyikan raut panik, mendongakan kepala Delam dengan pelan.
Ayya dan Zen menonton. Wajah kakaknya itu basah oleh air mata yang masih mengalir, sembari terisak kecil, dia berusaha menghapusnya walau kemudian Mami yang mengambil alih,
menghapus air mata Delam dengan kedua tangannya sembari berucap tak apa-apa berulangkali."Nanti Mami telepon Dokter Willy kalo Kakak gak mau ke rumah sakit. Gak pa-pa, nanti sakitnya ilang," kata Iren diakhiri kecupan lembut di kening Delam.
Sejak beberapa menit yang lalu, Ayya dan Zen hanya bisa mematung, tak tahu harus membantu bagaimana, mereka shock melihat kakaknya yang tiba-tiba seperti itu. Semula sarapan pagi ini berjalan dengan baik, bahkan Delam seperti hari-hari kemarin bergabung ke ruang makan dengan senyuman lebar, dan malah tadi sempat mencomot sosis punya Ayya yang membuat Ayya menggeram lalu Zen memberikan satu punyanya sebagai ganti, dan kemudian Zay memberikan punyanya untuk Zen. Membuat Iren tersenyum melihat tingkah manis putra-putrinya itu. Mereka juga sempat memperbincangkan Prada yang selalu sibuk dan akan pulang akhir pekan ini.
Sampai sarapan habis, Iren memotong buah. Delam tiba-tiba menunduk, mendesis samar, memegang bagian dada kirinya yang mungkin terasa menyentak. Setelah itu dia menenggelamkan wajah pada sebelah tangannya di meja, dan satu tangan lain mencengkram sumber sakit. Dari situ punggung Delam mulai bergetar, menangis.
Zay jongkok di depan Delam, Zen sebagai lelaki turun tangan juga untuk membantu sampai Zay berhasil menggendong Delam yang menyembunyikan wajahnya di tengkuk Zay. Sementara Zay membawa Delam ke kamar, Iren menelepon Dokter Willy sembari menggigit kukunya secara tak sadar.
-
"Walaupun saya ke sini, tapi harus tetep dibawa ke rumah sakit buat pemeriksaan lanjutan. Coba dibujuk aja,"
kata Dokter Willy.Iren mengangguk. "Nanti saya bujuk, makasih, Dok."
Dokter paruh baya yang masih tampan itu tersenyum, mengangguk. "Ini gak pada sekolah?" tanyanya kepada tiga anak yang ada di dekat pintu.
"Ngga, Om, lagian lagi hari bebas, baru habis ujian," Zen yang menyahut diakhiri dengan senyum sopan.
"Ohh, udah pada ujian. Zay juga udah mau kuliah, kan? Kata Papi, kamu mau ke Kanada?" Dokter Willy menatap putra kedua Tama yang cukup sering diceritakan oleh papinya itu.
Zay menggeleng. "Nggak, Om, mau di sini aja," sahutnya, tersenyum tipis.
Dokter Willy ikut tersenyum juga. "Mau jadi dokter kayak Om?" tanyanya menggoda,
Zay terkekeh, menggeleng. "Gak deh, gak kesampean ke situ, Om."
"Mau jadi penerus Papi, ya?"
Zay mengangguk dengan senyuman sopan. "Semoga," sahutnya.
Dokter Willy tersenyum. "Kamu pasti bisa sesukses Papi kamu," ucapnya seraya menepuk pundak Zay.
Iren tersenyum, ikut mengaamiinkan.
"Jangan pada khawatir, saudara kalian ini anaknya kuat kok, nanti bangun pasti segeran lagi. Dijaga, ya?"
Zen, Ayya, dan Zay kompak mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu