Di setiap tarikan napas berat, yang ada di pikirannya hanya penyesalan. Selalu penyesalan. Yang sebenarnya disesalkan juga tak ada guna, tapi tetap saja ingin terus merutuki kebodohannya. Apa sih yang ada dipikirkannya kemarin-kemarin? Sampai-sampai tak menjaga titipan yang begitu berharga. Kadang di titik ini yang dirasa hanya ingin menyerah. Tak ada titik terang untuk mendapat keajaiban kedua. Hanya sakit yang semakin hari semakin terasa, tapi di sisi lain dia masih takut. Delam tak pernah berani menatap kematian sekalipun itu takdir terdekatnya.
-
"Mas hari ini pulang lho, Kak. Bakal di rumah satu minggu." Iren beranjak sembari berucap, mengambil piring yang berisi pisau dengan tiga biji buah apel di meja, menjauhkannya dari pandangan. Membuat Delam yang sejak tadi sedang memandang lurus ke arah piring itu, tersadar dan menoleh. Tapi tak mengeluarkan suara, matanya hanya berkedip menatap Iren.
"Kak." Iren mendekat, memegang bahu Delam, menatap lekat tepat di mata putranya.
Delam mengerjap. "Mami," panggilnya dengan mata sayu yang membulat kosong.
"Kenapa?"
Delam menggeleng-gelengkan kepala. Bukan untuk menyahut pertanyaan Iren, tapi untuk menyadarkan dirinya sendiri.
Iren duduk di samping Delam, menenggelamkan raga yang akhir-akhir ini kadang terlihat seperti kosong itu ke dalam pelukan. Sebagai Ibu, dia menyadari beberapa hari ini ada yang tidak beres dari putranya.
Delam yang begitu candu pada game, sekarang bahkan jarang Iren lihat dia menyentuh komputernya ataupun handphonenya, yang dia lakukan seharian hanya melamun, kadang sampai tak mendengar saat Iren mengajak bicara, membuat Iren cemas. Ayya, Zen, dan Zay mulai begitu sibuk dengan rutinitas masing-masing, setiap hari pulang sore sampai rumah pun tak banyak berinteraksi karena kelelahan, di waktu weekend kadang mereka masih harus keluar.
Iren juga tak mungkin meminta putra-putrinya meluangkan banyak waktu untuk di rumah. Bagaimanapun di usia mereka saat ini, mereka sedang giat-giatnya membangun pengalamanan yang akan berguna untuk masa depan.
Iren melepas pelukan, menatap Delam lekat dengan tatapan yang lembut. "Kakak lagi mikirin apa? Jangan mikirin yang aneh-aneh. Coba ceritain, apa yang ada di kepala Kakak ke Mami? Atau Kakak butuh orang lain?" Sebelah tangan Iren menggenggam tangan Delam, merematnya pelan.
Delam terdiam. Orang lain? Ya, dia paham orang lain yang dimaksud maminya. Ah, ternyata Mami menyadari kalau Delam sendiri sedang merasa aneh. Di mulai dari dia yang akhir-akhir ini sering mengeluh pada diri sendiri sampai akhirnya muncul seruan-seruan yang berkecamuk di kepala. Delam sedang lelah. Fisiknya lelah, jiwanya lelah. Di saat dia butuh tidur untuk istirahat dari semua, ingin tenggelam ke dalam dunia mimpi yang di sana dia tak akan merasakan sakit. Malah tak bisa. Akhir-akhir ini bahkan tubuh sakitnya seakan tak rela Delam tinggalkan barang sebentar saja ke dunia mimpi. Seruan-seruan dari dalam kepalanya jadi semakin terdengar. Liar. Iya, Delam juga mengerti mereka juga lelah. Lantas, bagaimana caranya agar lelah ini berakhir?
"Mami, aku gak berguna, ya? Apa aku mati aja?"
Mata Delam menatap Iren. Dengan sorot datarnya, dia bertanya. Diucap dengan ringan, tapi menyentak dada seorang ibu. Iren meraih sebelah tangan Delam yang tak dia genggam. Kini kedua tangannya Iren genggam erat. "Husss ... kok gitu ngomongnya? Kata siapa Kakak gak berguna? Kakak berguna buat Mami, Papi, Mas, Abang, Zen, sama Ayya. Kalo Kakak gak ada, semuanya gak akan sama. Jangan mikirin yang aneh-aneh, ya? Kakak sayang Mami, kan?"
Delam mengangguk. Lalu Iren kembali memeluknya. "Jangan pikir yang aneh-aneh, nanti juga Kakak sembuh kok," ucap Iren di balik punggungnya.
Tangan Delam bergerak, membalas pelukan. Menenggelamkan wajah pada celuk leher maminya. "Kepala Kakak berisik, Kakak capek, mau tidur."

KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu