"Masuk aja, Ar, kamarnya gak dikunci kok. Kupingnya suka ketutup headphone, gak akan denger kalo dipanggil dari luar."Arsen mengetuk sekali pintu kamar di hadapannya, lalu membuka. Benar saja kata tantenya, yang punya kamar sekalipun diteriakin gak akan denger kayaknya, lagi main game dengan headphone di telinga sambil meracau sendiri. Arsen melangkah pelan, mendekat, lalu mengetuk meja tempat PC berada. Membuat Delam menoleh, langsung membuka headphone saat melihat siapa yang datang. Kalau Zay atau Zen yang dateng mah dia ogah meluangkan waktu sekadar untuk menoleh pun.
"Lah, Sen, gak bilang mau maen," katanya, merasa aneh dalam hati, ada angin apa sepupunya itu main ke rumah.
Arsen melangkah, duduk di tepi ranjang. Delam memutar kursi menghadap Arsen.
Arsen itu orang sibuk, sekalipun bundanya sering berkunjung ke rumah Delam, Arsen jarang ikut."Gue mau nganterin ini."
Arsen memberikan sebuah benda persegi berwarna hitam yang diikat pita senada, terlihat elegan dengan font timbul berwarna gold. Delam melebarkan mata. Bibirnya membulat. Janji teman-temannya di group beberapa hari lalu, ternyata tak main-main.
"Sen, serius. Ini ... gue kan bukan--"
Delam menghentikan ucapan, mengambil apa yang Arsen sodorkan. Tak ingin menolak, jujur dia sangat menginginkannya.
"Emang gue boleh dateng?" tanya Delam. Kalau Lexa denger pasti langsung di plototin, karena Delam terus mengulang pertanyaan serupa sejak kemarin, saat mereka saling berkicau di grup.
"Ya, bolehlah, di undangannya ada nama lo."
Delam membuka pita berwarna hitam yang mengikat kertas tebal itu. Lambang sekolahnya yang samar jadi background, ada nama Delam tercetak jelas di tengah-tengahnya.
Promnight '19.
Delamsyah Danesh Tri T,
(Social science V).Trinity and you.
Let's say goodbye like we said hello.A prom to remember.
Nama yang tercetak dalam undangan harusnya hanya nama murid-murid yang terdaftar sebagai siswa kelas XII di Trinity.
"Tapi, Sen, gue kan bukan lagi--"
"Lo masih bagian dari kita," tegas Arsen dengan tenang, tapi terdengar tak mau dibantah lagi. Dia potong ucapan Delam yang bahkan belum selesai, Arsen tahu apa yang akan sepupunya itu utarakan. Kalimat sungkan.
Delam menatap undangan itu terharu. Tak tahu harus merespon bagaimana. Dia mau jingkrak-jingkrak, tapi yakali. Mau peluk Arsen, ya geli. Yaudah mau bilang makasih saja nanti sama semua teman-temannya yang sudah mengupayakan nama Delam ada di daftar penerima undangan prom night. Kemarin saat melihat teman seangkatannya merayakan kelulusan dengan pesta bom asap warna-warni di lapangan, jujur Delam iri, harusnya dia juga ada di sana. Dan setelah itu setiap mengingat prom night, menyadari dia tak mungkin ikut, hatinya tergores, perih sekali. Angan-angan Delam sejak dulu, merasakan pesta malam perpisahan yang belum pernah dia rasakan.
"Lusa gue jemput jam setengah 7 malem."
"Lo mau jemput?" Delam mendongak, mengalihkan pandangannya dari kartu undangan.
Arsen mengangguk. "Udah ya, gue balik dulu, ditungguin Bunda. Lo jangan ngaret, lusa gue jemput tepat waktu."
Delam tersenyum lebar, mengangguk semangat. "Gak akan ngaret, dari jam setengah 7 pagi gue siap-siap."

KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu