Menikmati kopi di tengah malam, sangat bukan kebiasaan Prada. Dia lebih suka teh herbal sebagai minuman di malam hari. Sehat dan menenangkan. Tapi untuk malam ini, Prada memilih menyesap segelas kopi, berdiam diri sampai tengah malam di cafe 24 jam, tepat di sebrang rumah sakit. Memandang gedung menjulang di sebrang sana dari jendela cafe. Dia tak bisa tidur sampai pukul 22.00. Matanya tak kunjung ingin memejam. Akhirnya, Prada memilih keluar, duduk di cafe. Sampai dua jam, dia masih betah di tempatnya. Walaupun sekarang sudah tengah malam, tapi cafe masih ramai. Rata-rata pengunjung sama sepertinya, penunggu pasien yang tak bisa tidur.
Prada mengembuskan napas panjang. Jarum jam terus saja berputar. Bagaimanapun Prada harus tidur. Dia beranjak, meninggalkan americanonya yang tersisa sedikit dan tiramisu yang hanya dia makan seujung sendok. Melangkah keluar cafe. Menyebrangi jalanan yang sepi. Prada mundur saat mobil ambulance berbunyi nyaring melewatinya, menuju halaman rumah sakit. Ricuh suasana terdengar menakutkan begitu ambulance itu berhenti. Suara tangis seorang lelaki disertai teriakan, membuat Prada menutup mata sejenak, terbayang hari esok. Kemudian dia melanjutkan langkahnya, begitu pasien dalam ambulance sudah dibawa ke dalam IGD.
-
Prada memasuki ruang rawat. Melihat mami dan adiknya yang tidur berdampingan di ranjang pasien dan papinya di ranjang khusus keluarga. Prada memilih membaringkan tubuh di sofa, karena jika di ranjang, takut papinya bangun. Prada mencoba meringkuk dan memejamkan mata.
-
Drrrtttt ... drrtttt ... drrrttttt ...
Tama terbangun. Handphone di sampingnya bergetar, memperlihatkan sebuah panggilan masuk. Dia langsung bangkit, meraih handphonenya cepat begitu menyadari siapa yang menghubungi. Dari ICCU.
"Mas-Mas. Mami."
Prada mengerjap-ngerjakan mata, perlahan bangun, melihat papinya yang melangkah terburu-buru, membangunkan sang mami.
Iren terbangun begitu pun dengan Ayya di sampingnya, yang ikut terduduk dengan linglung.
"Ada kabar dari ICCU."
Detak jantung Iren langsung terpacu. Roh Ayya yang setengah masih ada di alam mimpi seperti teraup paksa. Suasana ruangan jadi terasa semakin dingin. Jam dinding baru menunjukkan pukul 04.00 WIB. Tama membantu Iren turun dari ranjang.
"Kenapa, Pi?" Prada bertanya, detak jantungnya jadi tak karuan sekarang. Walaupun sudah ikhlas, tapi tetap saja Prada takut.
"Mas jagain Ayya, ya. Papi sama Mami ke ICCU dulu."
Ayya menggeleng. "Enggak, Ayya ikut." Anak gadis itu bahkan sudah meneteskan air mata.
"Mami sama Papi duluan. Nanti Mas nyusul sama Ayya," kata Prada.
Tama mengangguk, membawa Iren dalam rangkulannya yang tampak lemas.
-
Tangis Iren tumpah begitu dokter bicara. Bahkan tubuhnya meluruh, terduduk di hadapan dokter. Tama menaikkan kedua ujung bibir, tersenyum dengan mata menangis, membungkuk memegangi bahu Iren.
Begitu mereka sampai di ICCU dokter langsung menemui. Tampak terburu-buru dan tidak ingin bertele-tele. Pria itu langsung mengatakan pada intinya.
"Ada donor," ucapnya. Berita baik, tapi diucap dengan raut rumit.
-
Tengah malam tadi ada korban kecelakaan, kondisinya mengenaskan. Korban menabrak pembatas jalan dan terpental dengan kondisi helm terbuka. Dia masih bernapas dengan lemah untuk saat ini, tapi mengalami cedera otak parah. Dan satu jam yang lalu setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter menyatakan, pasien mati otak, dia tidak akan bisa kembali sadar, atau bernapas sendiri karena otaknya sudah tidak berfungsi. Kini pasien ada di ICU dengan kondisi kritis. Perawat IGD menemukan kartu ikrar donor organ yang ada dalam dompet pria itu yang tak sengaja terbuka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Fiksyen Remaja**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu