Minggu ke minggu berlalu dengan cepat.
Acara tahunan tinggal beberapa minggu lagi. Anak kelas dua belas sudah mulai sibuk bimbel sana-sini, belajar tak kenal waktu karena waktu ujian tinggal menghitung bulan.Anak kelas satu, dua pun, tak terasa beberapa bulan lagi mau pada ujian akhir semester satu, tapi mereka mah santuy, belajar seadanya, pasti lanjut semester dua kok. Apalagi anak cowok IPS 5, cuma satu dua yang terlihat belajar di waktu selain jam pelajaran, yang lainnya ... ya, bisa melek di waktu jam pelajaran pun sudah syukur.
Jamkos dikasih tugas malah ngerjain yang nggak-nggak. Gaple lah, remilah,
nonton film lah, game lah, ghibah lah,
tidur lah, pokoknya apa pun lah, selain ngerjain tugas. Waktu mepet mau dikumpulin barulah mereka berembug ngerjain kilat bareng-bareng. Eh, ralat, bukan ngerjain bareng-bareng, tapi nyontek bareng-bareng. Yang ngerjain paling beberapa, yang ikhlas aja nyontekin. Biasanya si Max, gitu-gitu dia otaknya pinter, rajin ngerjain tugas, dan tak pernah pelit kasih nyontek. Asal sogokannya jelas saja, seperti kali ini mereka sogok pake hoodie yang dia mau, langsung dibeli online pake uang patungan. Sogokkannya mahal karena tugasnya matematika, kudu pake otak agak ekstra."Rok, lo udah nyalin?"
"Udah."
"Gue pinjem dah."
Roka memberikan buku tugasnya. Delam membawa buku bersampul coklat itu ke bangkunya. Toni dan Beno sudah siap sedia di sana. Menghadapkan kursi mereka ke meja Delam.
"Eh, ikut tawuran, yok!"
Lagi khusuk-khusuknya menyalin, Beno tiba-tiba nyeletuk begitu. Delam melirik sekilas kemudian menulis kembali, tak banyak peduli.
"Sono lo mati," Toni menanggapi.
"Tawuran, Antoni, bukan ngajak lo mati,"
ralat Beno."Sama aja, bego." Toni melengos malas.
Delam melirik Toni. Mereka berdua berpandangan sekilas lalu sama-sama menghela napas pendek sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Adu bacot gue ngikut, Ben, tapi kalo adu otot, lo aja sono. Biar di sini gue bantu nentuin mau TPU mana. Kalo lo bingung, TPU sejahtera noh, enak, adem, bersih."
"Ih, kok jadi TPU sih lo, Lam, gue ngomongin tawuran."
Delam mendelik. Menarik napas kemudian mengembuskannya panjang. Perlu diceramahi saudara Benoa ini.
"Heh, Benoa! Kita betiga ini gak ada yang bisa berantem, gak ada bakat dah tawuran-tawuran. Mabok lem kertas lo, ya?! Tiba-tiba ngajak tawuran. Ton, kebanyakan bantuin Sheila nempel-nempelin kertas keknya nih orang. Besok-besok jangan dibiarin dah, bahaya."
Toni tak ingin menanggapi, ucapannya sudah diwakilkan Delam. Dia hanya melirik Beno sekilas tanpa minat kemudian kembali menulis.
Beno mendecak. "Pengalaman sekali seumur hidup, Lam. Ya, masa gue dibilang cemen sama bocah SMP. Katanya, banci tawuran aja kagak pernah." Bibir Beno sekarang mengerucut.
Hooo, karena bocah SMP. Delam menghentikan gerakan tangannya. Mendongak menatap lurus Beno dengan ujung mata turun. Males sebenarnya keluarin suara lagi. Seret. "Bener. Lo emang kudu diruqyah Abdul--"
"Dah, Lam, giliran gue yang kultum." Toni yang terlalu geram akhirnya memilih mengambil alih pembicaraan, memotong ucapan Delam. Dia tatap Beno lurus, ngumpulin gas dulu.
"Heh! Benoa!!! SPP di sini mahal, ANJENG!!!" serunya dengan nada ngegas polll kemudian Toni mengembuskan napas keras. "Dah, itu doang dari gue, sisanya lo mikir sendiri, capek gue segitu juga. Omongan bocah cemen lo dengerin, gue bego, tapi gak sebego itu," lanjutnya. Lelah Toni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu