“OoPLOSAN BOTOLMU OPLOSAN OPLOSANMU--”
“SALAH, GOBLOK! LIRIKNYA BUKAN GITU!”
“Ganti lagu, anjir. Gue gak hapal.”
“Lam, Ada band haruskah ku mati.”
Delam berdehem dari tadi dia menyanyikan lagu dangdut sekarang balad. Harus menyelaraskan dulu suaranya. Roka yang bagian membuat suara drum dari ketukan meja pun, tadinya bar-bar, kini jadi memelan.
“Lagu lama, nih. Angkat tangannya di atas, yoooo ....” Delam menarik napas dengan wajah dibuat seserius mungkin, mulai menghayati lagu.
"Baagaimanaa mestinya ... membuatmu jaatuh haati keepadaaku ... telah kutuliskan sejutaa puiisii ... yaakinkanmu membalas cintaakuu ...🎶HA--"
“Delam! Lo dipanggil Abdul.”
Delam mendengus mengatupkan kembali mulutnya yang sudah tinggal 'hap', untuk menyanyikan bagian reff. Dia meletakan kemoceng yang dipakai sebagai mik, lalu melangkah turun dari atas meja yang dia duduki. Kini hanya tinggal Beno yang menjadi vokalis, meneruskan nyanyian Delam.
“Apaan, Dul?” tanya Delam begitu berhadapan dengan Abdul, cowok teralim se-Trinity. Ketua rohis yang seragamnya selalu terlihat rapi, everytime and everyday. Yang kalau jalan memancarkan aura surga.
“Kamu mau masuk rohis?” tanya Abdul dengan suara sangat sopan masuk ke telinga. Membuat Delam refleks melongo, kepalanya mengangguk. “Bisa, kan, Dul?” tanyanya, tatapnya tak berkedip seakan terperangkap pada pesona Abdul. Kedua lengkukan bibir Abdul terangkat, menciptakan senyuman yang oversweet. Delam meneguk ludah. ‘Eh, anjir senyumnya adem bener,’ batinnya.
“Nanti sepulang sekolah ikut kumpul ya di mesjid,” kata Abdul dengan ramah, membuat kepala Delam lagi-lagi mengangguk begitu saja. “Yaudah, gitu doang, kok. Maaf ganggu waktunya, ya.” Abdul tersenyum lagi, lalu berbalik melangkah pergi setelah mengucap salam.
Delam masih melongo, sampai Abdul sudah jalan jauh. “Hoo ... yang kayak gini ya, yang kalo mati masuk surga,” gumamnya pelan seraya terus menatap punggung Abdul yang berjalan tegak, bisa dipastikan sambil menebar senyum manis, dan menganggukkan kepalanya ramah, terbukti para cewek langsung tersipu-sipu malu saat dia lewat.
“WOI, LAM! SINI DIGOYANG LAGI LAH,” teriak Jenit, si biduan kelas yang sekarang sedang duet dengan Beno menyanyikan lagu Juragan empang.
"Ogah, ah, gue mau sholat," ucap Delam. Jajaran siswi-siswi yang berada di depan langsung menoleh.
“Sholat apa coba? Kalo jam segini?” Sheila bertanya. Ragu, Delam tahu waktu sholat pun sepertinya tidak. Cewek itu menunggu jawaban Delam dengan dagu terangkat.
Delam berpikir sebentar lalu melirik ke arah bangku depan dekat pintu tempat, Zeid si juara kelas duduk. Tadinya anak itu lagi sibuk main handphone, tapi sekarang ikut memandang Delam, dengan melongo.
“Eh, sholat apa sih, Zed? Asiar, ya?” celetuknya membuat Zeid langsung mengatupkan bibir yang tadi tak sengaja sedikit terbuka refleks, tidak sempat dia menjawab, keburu direcoki oleh penghuni kelas yang lain. Seisi kelas refleks tertawa, beberapa ada yang menghela napas panjang, dan hanya bisa mengatupkan bibir seperti Zeid.
“E, Goblok! Ashar, bukan Asiar. Malu-maluin lo, Lam, ah,” Beno yang paling terbahak. Tak tahulah Delam, hidup 17 tahun ngapain aja, nama-nama sholat lima waktu saja, dia tidak hapal.
Sheila yang bertanya, merespon dengan decakan sambil geleng-geleng kepala. “Tobat sono lo, Lam. Dipecat lo jadi penghuni surga. Kasian Pak Jaelani, merasa gagal jadi guru PAI.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu