"Udah pada sarapan?"
"Udah. Aku, Mas, sama Abang, yang masak nasi goreng," Ayya menyahut dengan nada manis.
Zen melirik. "Dih, lu mah recokiin doang."
Prada menghela napas. "Delam mana, Mi?" tanyanya. Tak ingin menengahi dua adik kembarnya yang mulai berdebat lagi, biarlah nanti juga diem sendiri.
"Tuh masih tidur."
Iren memperlihatkan Delam yang sedang tertidur. "Demam terus, tapi kata dokter gak pa-pa, itu biasa."
"Tapi semuanya aman, kan, Mi?" Zay bertanya.
"Aman kok, Bang. Tinggal pemulihan aja, lusa juga udah boleh rawat jalan."
Iren tampak merapikan poni Delam yang sudah panjang, tersenyum tipis melihat wajah damai itu.
"Ayya, Zen, gak berantem terus, kan?"
Dua bungsu saling lirik.
"Nggak kok, Mi. Baik-baik aja," sahut Zen.
Ayya mengangguk. "Kita kan anak baik," tambahnya nyengir lebar.
Zay melirik adik kembarnya. "Bohong banget, baru aja abis pada berantem tuh, Mi. Gak tahu rebutin apa."
"Dih, Abang. Siapa yang berantem." Ayya menanggapinya dengan tawa garing, supaya tidak terlihat menyangkal, abangnya juga pake cepu lagi.
"Selama ada Mas kita gak berantem. Ya, kan, Mas?" Ayya melirik masnya.
Prada tersenyum, mengiyakan. Membuat Ayya tersenyum lebar, untung masnya iya-iya aja orang nya, tersabar dan tersayang di kehidupan Ayya.
Iren terkekeh. "Gak boleh gitu, ah. Ayya, Zen, yang rukun gak boleh bikin masnya pusing."
Terbiasa di rumah, membuat Iren baru seminggu di sini sudah sangat rindu saja dengan keributan putra-putrinya, termasuk yang lagi tidur ini nih salah satu oknum yang suka bikin keributan,
Ya, walaupun kadang bikin sakit kepala,
tapi jujur sekarang Iren sangat merindukan suasana cekcok anak-anak.--
Embusan napas panjang keluar. Lega.
Tidak terasa beberapa minggu berlalu tinggal di negara asing. Hari ini semua sudah selesai, pengobatan Delam di sini sudah beres, katup jantung penggantinya dinyatakan oleh dokter, aman. Senang sekali rasanya bisa kembali pulang.--
Setelah kurang lebih tujuh jam di pesawat, akhirnya mereka mendarat di Jakarta. Di pagi hari. Sekarang pukul 9.30, mereka berangkat tadi malam. Ada Prada dan Zen yang menjemput ke bandara. Melihat-lihat sekumpulan orang yang baru tiba. Mata Zen melebar saat melihat kedua orang tuanya .
"Mas itu."
Zen melambaikan tangan dengan semangat. Iren dan Tama yang melihat tersenyum lebar. Mempercepat langkah menghampiri tubuh menjulang si bungsu. Zen semakin girang saat melihat sang kakak yang berjalan di belakang, memakai kolor hitam dipadu dengan hoodie abu, persis seperti gayanya saat berangkat satu bulan lalu, melangkah santai seperti baru balik dari beli bubur depan rumah.
Delam tersenyum. "Mas."
Prada memeluk singkat dengan satu tangan. Menepuk punggung adiknya, mengisyaratkan kebanggaan. Delam lalu beralih ke Zen, adiknya itu menampilkan deretan giginya yang rapi. Delam mendecak, merentangkan tangan. Tentu dengan senang hati Zen langsung memeluk.
"Eh, luka lo." Wajah Zen panik seketika, takut Pelukannya terlalu erat, melukai bekas operasi Delam.
"Udah kering," kata Delam dengan bola mata berputar. Parno banget bocah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Jugendliteratur**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu