Demi apa pun detik waktu terasa lambat. Sudah satu minggu lebih hanya terbaring dengan posisi meringkuk, sesekali telentang, tapi dadanya makin tak nyaman jika di posisi itu. Hari ini jantungnya terasa berkali-kali lipat lebih menyiksa. Paru-parunya juga seperti ikut berkolaborasi untuk membuatnya makin menderita. Bahagia, tapi sakit. Delam bahagia masih bisa membuka mata, tapi tak tahan dengan keadaannya sendiri. Mati segan, tapi hidup pun sulit.
-
Sore ini, Zay yang menggantikan diapers. Sebenarnya nanti juga Iren atau Tama akan menggantikannya, kedua orang tuanya hanya pergi sebentar untuk belanja. Tapi Zay keukeuh, katanya kalau kelamaan, nanti Delam sendiri yang tak nyaman. Delam pasrah tak menolak. Andai saja ada sedikit tenaga pasti dia berontak. Zen dan Ayya pergi ke kantin untuk makan, sedangkan Prada dari pagi tak di rumah sakit, sibuk di kantor. Jadi okelah, Delam tak begitu malu.
Dengan telaten Zay melakukannya. Berbekal dari menonton Iren atau Tama yang biasa melakukan, dia bisa. Membersihkannya dengan tisu basah lalu tisu kering, mengoleskan krim anti iritasi khusus, baru memakaikan diapers yang baru.
Delam ingin memberengut, tapi tak bisa. Satu lagi orang yang dengan tak senonohnya melihat si jagoan. Malah Zay memperlakukannya dengan sedikit kasar. Syaland.
"M aja lo kedodoran, kayaknya gue harus bilang Mami, buat ganti popok bayi aja deh."
Ujung mata Delam menatap tajam.
"Kenapa? Tatapan lo gak bikin gue takut," ucap Zay. Tangannya masih sibuk. Setelah selesai dan dipastikan Delam nyaman. Zay mengambil celana training baru. Memakaikannya dengan lembut. Dan sudah. Zay membuang bekas diapers, memasukkan celana kotor ke keranjang, lalu merapikan peralatan.
Mulut Delam terbuka, mengatakan sesuatu, tapi suaranya tak terdengar.
"Apa?" Zay mendekatkan telinga.
"--kasih."
Hanya itu yang dapat dia dengar.
"Mm." Zay menyahut dengan gumaman,
lalu duduk di kursi samping ranjang. Memperhatikan Delam yang sedang dalam posisi meringkuk."Sakit banget, ya?" tanya Zay.
Delam mengangguk, tersenyum tipis, sembari terus berusaha keras menerima bantuan udara dari masker oksigen.
"Lam, gue mohon jangan samperin Ken. Gue janji bakal jadi abang yang baik. Abang lo itu gue, Lam, bukan Ken," ucap Zay tiba-tiba.
Kening Delam mengernyit. Ken? Kenapa Zay jadi membawa-bawa nama Ken. Dari mana juga abangnya itu tahu tentang Ken. Ah ... pasti Zay masuk ke dalam kamarnya. Barang-barang kenangan dulu, Delam lupa membereskannya kembali, ditinggalkan begitu saja, berantakan di atas ranjang. Tapi tentang Ken. Akhir-akhir ini Delam juga kembali mengingatnya, kadang terpikir mungkin dia akan menyusul Ken. Apa Ken masih mengingat Delam. Ken, mati itu seperti apa?
"Nanti lo sembuh, gue temenin lo maen basket, ya? Diinget-inget, kita gak pernah maen basket bareng."
Iya!!! Dan gue kalo maen basket selalu salah di mata lo!
"Lo pasti kecewa gak pernah gue ikutin di pertandingan, gue juga selalu acuh sama lo." Zay terkekeh kecil. Mengingat betapa jahatnya dia dulu.
"Maaf, Lam. Gue cuma takut sesuatu terjadi sama lo."
Gak guna Zay, terjadi juga kan akhirnya. Gue mati tanpa pernah dapet medali dari basket. Asli gue gentayangin lo!
Tiba-tiba setetes air mengalir melewati pipi Zay. "Jahat banget ya gue jadi abang," katanya dengan kekehan yang terdengar miris.
Antara mau ngeledek, tapi terharu. Gengsi Zay itu gede. Tak pernah sekalipun memperlihatkan kelemahannya. Tapi lihat Sekarang, air matanya dibiarkan mengalir begitu saja. Delam jadi merasa buruk juga sebagai adik. Walaupun dengan perkataan dan perlakuan kasar, tapi selalu ada maksud baik di balik apa yang dilakukan Zay padanya. Zay selalu menyempatkan waktu. Zay selalu ada. Melindungi tanpa terlihat melindungi. Peduli tanpa terlihat peduli. Dan Delam hanya adik yang tahunya cuma bersikap kasar dan ngegas, ngurat dan emosian. Jarang sekali dia berucap terimakasih setelah Zay melakukan sesuatu untuknya. Seringnya malah maki.
Zay sebaik ini, akan seperti apa kehidupannya di masa depan, pasti sangat sempurna, perempuan yang jadi miliknya kelak adalah orang yang beruntung. Begitu pun Prada, Ayya-Zen, kedua orang tuanya. Delam ingin melihat, akan seperti apa mereka nanti. Tapi bagaimana caranya untuk tetap bisa melihat masa depan. Untuk berdetak hari ini saja, jantungnya harus bekerja sangat keras sampai menyiksa dirinya. Mengharapkan masa depan, rasanya terlalu jauh.
Delam menggerakkan tangan. Menurunkan masker oksigen, setelah sebelumnya menghirup bantuan udara dengan tarikan napas dalam terlebih dulu. Kepalanya menggeleng saat Zay akan beranjak dengan mata melebar, kaget dengan apa yang dilakukan Delam.
"Ben-tarhh. Gue-hhhuuhh-yang jahhat, Zayhh. Lohh, abang, yang sempurna, hhhhhh ..."
Delam memakai kembali masker oksigennya, menghirup dalam. Tak kuat lagi. Benarkan paru-parunya berkolaborasi dengan baik untuk menambah deritanya. Di balik masker oksigen, Delam tersenyum. Mengangkat lemah tangannya yang terkepal. Tos perdamaian resmi.
Bukannya membalas dengan aduan kepalan tangan juga. Zay malah maju, menangkup kepalan tangan Delam dengan kedua tangannya. Meluruskan paksa jari-jari Delam yang mengepal, menautkan dengan jari miliknya. Zay menerbitkan senyum. "Gue serius, lo gak boleh pergi, Lam," ucap Zay.
Ringan dia bicara seperti itu, Delam buat narik napas aja berat. Dadanya udah kayak ketindihan setan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu