Hari ini bagian Tama yang seharian nempel dengan Delam.
Iren sedang duduk di sofa menonton acara TV, sesekali menarik sudut bibir saat adegan dalam acara itu terlihat lucu. Ini sabtu sore. Setelah kejadian semalam yang membuatnya tak berhenti menangis, takut Delam akan berakhir di ICCU, tapi syukurnya sejak bangun siang tadi, anak itu tampak tenang, tak ada kernyitan di dahi dan erangan seperti tadi malam. Membuat Iren akhirnya bisa mengembuskan napas lega. Kini putranya sedang duduk menyandarkan kepala di bahu papinya.
Tama menopang dan merangkul tubuh lemas putranya itu. Deru napas beratnya terdengar jelas diiringi batuk yang sesekali menganggu. Mata besar itu tampak mengantuk, mengerjap dengan berat.
"Mau baringan aja?"
Delam menggeleng, berada dalam rangkulan papinya begini ternyata nyaman juga, pantas saja Ayya suka betah. Ayya sendiri sekarang ada di sofa, sedang terbahak menonton lawakan di TV. Satu fakta yang Delam tahu setelah mengenal sedikit lebih dalam tentang adik perempuannya itu, dia itu receh, baca tweet-weet lucu dikit aja bisa sampai terbahak-bahak tak karuan. Tapi anehnya, jika memandang Delam, wajah itu jadi gak ada receh-recehnya, judes banget.
Di satu sofa kecil, ada Zay, duduk menaikkan sebelah kaki, tertawa sembari meneguk sebotol minuman yogurt, dan di sofa panjang sebelahnya, ada Zen, sebelas dua belas sama kembarannya. Kerecehan mereka serupa. Si kembar tertawa, sekilas terlihat sama. Di samping Zen, ada Prada yang paling tenang, hanya tertawa kecil. Masnya itu terlihat mengantuk, menguap terus. Delam tersenyum, kemudian dia merasakan pergerakkan. Tama merenggangkan bahu, membuat posisi Delam bergeser, kini kepalanya bersandar pada dada sang papi.
Delam ada dalam rengkuhannya. Tama memeluknya erat, menghirup harum rambut lebat itu. Entah esok atau lusa, mungkin Tama tak akan bisa lagi memeluk tubuh putranya. Tama menarik selimut, membuat Delam hangat dan nyaman dalam dekapannya. Teringat saat putranya kecil dulu. Kadang kalau lagi rewel, Delam akan seharian berada dalam gendongan Tama, seakan membalas dendam padanya karena sudah meninggalkan untuk waktu yang lama.
"Pihh ...."
"Hm?" Tama merunduk, mendengarkan suara pelan putranya.
"Ma-kasihh."
Ah, tiba-tiba dada Tama sesak. Tama menggeleng. "Papi yang makasih, Kakak udah sekuat ini, udah bisa tumbuh sampe setinggi ini. Kakak jangan takutin apa-apa, ya. Selalu ada Papi, Mami, Mas, Abang, yang siap topang Kakak."
Delam tersenyum, meraih tangan Tama untuk dia genggam. Bahkan, dia selalu takut pada detik berikutnya, tapi Papi bilang jangan takut. Ketakutannya seakan hilang seketika. Apa pun takdirnya esok, mulai detik ini, Delam akan coba hadapi dengan berani.
--
"Bang, titip bentar, ya. Mami sama Papi gak akan lama kok. Ayya, jangan digangguin. Biarin tidur."
"Siapp, Mamiiii, Zen tuh yang mau gangguin."
"Apaan, mau ngambil HP doang." Zen baru keluar dari toilet melangkah ke arah ranjang. Cuma mau ambil handphone di nakas, udah disu'udzonin duluan sama Ayya.
"Bang, gak akan keluar, kan?"
"Nggak kok, Mi."
Iren mengangguk. "Soalnya Mas pulangnya sore."
"Kan ada Ayya yang bakal seharian di sini, Mi," Ayya bersuara.
"Gak percaya kali Mami sama lo," ucap Zen sembari berjalan santai ke arah kembarannya.
Ayya bersungut, ingin menjitak.
"Bang, jagain si kembar juga biar gak berantem."
Zay mengacungkan jempol. "Siap, Pi. Aman."
"Mami sama Papi pergi, ya."
"Iyaa." Ketiganya menyahut. Iren dan Tama melangkah keluar ruangan.
"Sana Zen, sana!"
"Apaan sih, Ay?! Gak ada Kakak, lo galaknya sekarang ke gue."
Ayya mendorong-dorong Zen yang duduk di sampingnya. "Awas! gue mau tiduran," usir Ayya.
Zen mendengus. Mengalah. Berpindah tempat duduk.
"Dan ... heh! Kakak masih ada, ya! Seenaknya lo kalo ngomong!" sewot Ayya kemudian, mengingat kalimat Zen tadi. Cewek itu jadi supersensitif akhir-akhir ini, padahal masa mensnya udah lewat.
"Ya, bukan gitu maksudnya." Zen jadi menunduk, berkata lirih, sadar perkataannya tadi tidak tepat.
Memandang saudaranya yang jadi menyendu, Ayya jadi merasa tak enak hati. Dia mengatupkan bibir, lalu beranjak mendekati saudara kembarnya, mengulurkan tangan. "Maafin gue," katanya.
"Hm? Lo gak ada salah." Zen mendongak, melihat Ayya.
Ayya menggeleng. "Gue salah." Lalu dia menarik tangan Zen, menjabatnya paksa. Kemudian menarik tangan itu, agar Zen terbangun.
"Duduk di sana lagi sama gue."
Zen mengangkat alis. Aneh sekali kan mood kembarannya itu. Zen pasrah saja mengikuti Ayya. Duduk kembali di sofa sebrang, lalu Ayya berbaring menidurkan kepala di pahanya.
Zay yang melihat interaksi si kembar terkekeh, lucu sekali dua adik kecilnya.
"Ma-mihhh ...."
Suara yang pelan itu masih terdengar karena volume televisi tidak begitu besar. Ayya dan Zen melirik.
Zay langsung beranjak. "Mami sama Papi balik dulu. Kenapa? Mau apa?" tanya Zay sembari duduk di tepi ranjang. "Tidur lagi, ya. Gue usap-usap punggung lo."
Delam menyampingkan tubuh, agar Zay mudah mengusap-usap punggungnya. Sakit sekali hati Zay, saat tangannya bisa meraba dengan jelas tulang-tulang di punggung Delam. Delam memang kurus, tapi tak sekurus itu.
"Ihhh, pellann."
"Ini udah pelan. Mau gimana?"
"Behh-gghohh."
"Kenapa jadi marah-marah? Lagi sakit tuh ngomongnya yang baik-baik."
"Eurghhh ... Mas."
"Gak ada. Mas Prada ke kantor. Adanya gue. Mau apa? Kenapa?" Zay berusaha untuk tetap sabar, bukan apa-apa, kalau sama dia tuh, Delam selalu marah-marah dengan suara lemahnya, gitu salah, gini salah.
"Dud- dhhukk, Zay. Ghoblhokhh."
Ayya dan Zen tertawa tanpa suara, abangnya kalau sama Delam dimaki terus.
"Kalo mau duduk ya ngomong dari tadi. Marah-marah terus kalo sama gue. Heran." Zay membangunkan perlahan badan Delam agar terduduk, bersandar padanya. Diawalin sama masnya nih, Delam dikit-dikit jadi minta duduk nyender. Tahu aja posisi ternyaman.
"Sa-khit. Anjhh--"
"Iya, makanya gue usap-usap ini, biar sakitnya ilang. Jangan sewot dulu."
"Gha, ilhanghh ...."
"Yaudah, mana yang sakitnya?! Biar gue marahin, biar minggat. Berani-beraninya nyakitin adek gue!" omel Zay.
Delam jadi tertawa pelan. Kayaknya kampus bikin Zay stress dah.
Zen dan Ayya juga tertawa. "Besok masih gini gak ya, Zen?" tanya Ayya, tanpa melirik.
Zen menggeleng. "Maunya sih besok ada keajaiban. Kakak tiba-tiba sembuh, bisa pulang ke rumah, maen game bareng gue lagi."
"Eum." Ayya mengangguk. Hanya dengan membayangkannya saja, dia sudah tersenyum. Pengandaian yang sangat mustahil untuk terjadi, tapi tetap Ayya aamiini.
"Lam, dipikir-pikir, gue kalo pilek, idung mampet aja, suka misuh-misuh gak jelas. Lo apa kabar, ya. Dibantu oksigen aja gak bikin napas lo jadi enakan. Mmm, jadi gak pa-pa deh, kalo lo misuh-misuh sama gue. Marah-marah juga gak pa-pa. Keluarin aja, biar gak nambah sesek."
Delam tak mendengar celotehan Zay. Dia tertidur. Usapan tangan Zay sepertinya cukup membuatnya nyaman.
Zay mendecak. "Enak, kan, usapan gue? Tadi aja marah-marah," kata Zay. Sembari menatap, dia menyibakkan poni Delam yang sudah agak panjang, lalu memandang embusan napas yang terhalang masker oksigen.
"Gak pa-pa, Lam, lo tidur terus, tapi bangun, ya."
------
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
أدب المراهقين**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu