"Mami, do'ain ... aku, gak?"
Iren tidur di ranjang Delam, berbaring menyamping memandang wajah putranya. "Selalu," sahutnya.
"Sekarang, Mami sholatnya rajin." Delam berucap, diakhiri senyum tipis.
Senyum di bibir Iren pun terbit. "Iya, dulu Mami sering lupa. Allah maafin Mami gak, ya?"
Delam mengangguk. "Kata Abdul, Allah Maha Pemaaf."
"Abdul?" Iren baru mendengar nama itu,
dari jajaran teman Delam yang pernah ke rumah, dia baru mendengar namanya disebut."Temen aku, baik banget. Sholatnya rajin, ngajinya juga."
"Mmm." Mata Iren terfokus pada wajah Delam, di bawah cahaya lampu tidur, rasanya tak ingin waktu berlalu.
"Mami."
"Hm?"
Delam menoleh. "Aku lama gak sholat, apa gak pa-pa?"
Iren menggeleng. "Kan Kakak bilang, Allah Maha Pemaaf, tapi pas udah sembuh nanti, Kakak harus kayak Abdul, ya?"
Delam mengangguk. "Keluarga Abdul sholatnya jama'ah terus," katanya.
"Nanti subuh kita sholatnya jama'ah," ucap Iren.
Delam tersenyum. "Mami," panggilnya lagi.
"Hm?" Iren mengusap kening yang berkeringat itu. Ini sudah malam, yang lain sudah tidur. Iren ingin menyuruh Delam tidur juga, tapi tak bisa dipungkiri, dia masih ingin mendengar suara celoteh putranya. Walaupun tampak kepayahan, tapi Iren senang mendengar celotehannya.
"Aku nakal, ya? Jahat sama Mami?"
Tangan Iren terangkat, meraba ukiran wajah Delam. Potongan rahang yang sempurna. "Kapan Kakak jahat sama Mami? Gak pernah. Kakak itu, anak Mami yang paling baik. Gak pernah cengeng, gak pernah rewel, selalu nurut, kuat. Dari kecil Kakak gak pernah nangis kalo disuntik." Iren mengelus surai hitam itu, ucapannya terjeda sejenak. "Maafin Mami, ya. Dulu ninggalin Kakak. Kakak jangan bales Mami, ya. Jangan bales ninggalin Mami. Mami gak sekuat Kakak."
"Aku juga, gak sekuat yang Mami pikir," sela Delam. Iren tak akan tahu berapa banyak tetes air matanya yang keluar di bawah cahaya lampu temaram dan di balik selimut tebalnya dulu. Sejak kecil, Delam sudah pandai menyembunyikan.
Beradu tatap dengan mata sayu itu, mata Iren tiba-tiba memanas. "Maafin Mami, ya." Hanya kalimat itu yang ada di pikirannya.
Delam mengangguk. Tak ingin menyangkal dan bilang kalau maminya tak salah apa-apa, terlalu munafik jika Delam berkata seperti itu. Jujur sejak dulu, kadang dia berpikir Iren jahat, meninggalkannya dan hidup bahagia dengan saudara-saudaranya yang lain. Tapi, untuk semua yang telah terjadi. Hari ini Delam benar-benar sudah memaafkan semuanya, dan menyadari kalau dia pun ada salahnya. Pernah membenci semua tanpa alasan yang jelas.
Malam ini berlalu dengan damai, mata Delam terpejam lebih dulu. Iren memandangnya lama, sampai puas, sampai matanya, ikut memejam juga dengan sendirinya.
--
Biasanya mata Delam baru sanggup terbuka di siang hari, bukan karena kebo atau gimana, tapi sejak hari tumbangnya waktu itu, rasa teramat lelah selalu menghinggapi tubuhnya, bahkan di saat dia hanya terbaring seharian. Dejavu, saat titik-titik terendah dulu, dan Delam bertemu dengan titik ini lagi.
Matanya terbuka di waktu yang tepat. Delam melirik jam dinding. Pukul 04.50 WIB. Beberapa langkah dari ranjangnya, semua anggota keluarga sedang menunaikan sholat subuh berjama'ah, seperti yang Iren bilang semalam, dengan papinya sebagai imam. Yang pertama di hidup Delam melihat pemandangan indah ini. Sayang, dia tak bisa ikutan, sholat di shaf kedua, berjajar dengan Zay, Prada, dan Zen. Bibirnya tersenyum. Rasanya udara pagi ini terasa lebih segar saat dihirup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Fiksi Remaja**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu