PART 13

7.2K 573 24
                                    


Delam menyudahi pertunjukkan perdananya yang diadakan di dalam kamar dengan Zen sebagai satu-satunya penonton.

Zen tersenyum tipis. Mengangkat kedua jempol. "Keren," pujinya.

Delam memberikan gitar di tangannya pada Zen, tanpa kata dan tanpa merasa bangga.

"Kenapa lo mau jadi pemain basket Padahal bakat lo di seni?" tanya Zen dengan gitar Delam yang kini ada di pangkuannya.

"Itu bukan bakat, gue balajar buat bisa," sahut Delam.

"Tapi lo juga jago gambar."

Delam mendesah. "Lo mau ngoceh atau belajar gitar? Kalo mau ngoceh mending gue tidur daripada dengerin ocehan lo. Ulang yang tadi, mulai dari C."

Zen cemberut, Delam sewot mulu. Dia membenarkan posisi gitar. Mematuhi titahan kakaknya yang galak bener.

-

"Gitar yang itu balikin ke temen lo. Lo pake yang gue aja," ucap Delam sembari memasukkan gitarnya ke dalam tas khusus yang dia punya, sedangkan kotak gitarnya Delam simpan di pojokkan. Ganti pake tas biar Zen lebih gampang bawanya. Latihan hari ini selesai saat jam digital menunjukkan pukul 9.p.m.

"Beneran boleh gue pake?" tanya Zen. Menerima tas gitar yang Delam sodorkan. Walaupun tak pernah lihat Delam mainin, cuma sekali doang tadi, tapi Zen tahu gitar itu mungkin kesayangan Delam, ada namanya terukir di badan gitar.

"Kalo gak boleh, gak mungkin gue kasih ke elo," sahut kakaknya, dengan sewot, dah biasa.

Zen tetap tersenyum walaupun disewotin. "Iya juga, makasih kalo gitu, Kak," ucapnya.

"Udah sana lo balik kamar, gue mau tidur," usir Delam.

"Yaudah, makasih buat hari ini. Good night, Kak." Di ambang pintu, Zen menyempatkan diri tersenyum lebar, menunggu sahutan, Zay kan biasanya nyahut.

"Iye, sono lu. Good night, mimpi buruk!" Delam menyahut.

Zen terkekeh, lalu menutup pintu.

--

Yang bagus dari Delam itu, anaknya tahu waktu, gak susah kalo bangun pagi. Apalagi setelah dia punya aplikasi di handphone yang selalu mengumandangkan adzan. Saat adzan subuh berkumandang Delam pasti membuka mata, tapi dari dulu juga dia emang tidak susah. Bukan karena rajin-karena setiap harinya Delam selalu sengaja berangkat mendahului orang rumah, jadi kebiasaan. Ya, kebiasaan yang bagus.

Delam keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah, kali ini matahari sudah mulai muncul, sengaja berangkat di jam normal, mau merajuk sama seseorang.

"Mas."

Prada yang sudah ada di meja makan, menoleh, yang lain belum pada turun.

"Kenapa? Sini sarapan dulu."

Delam menghampiri, duduk di sebrang masnya. "Bolehin bawa motor lagi, ya? Pleaseee, soalnya susah ke mana-mana kalo gak ada motor. Masa tiap hari nebeng mulu, kan malu. Atau tiap hari pesen ojek online mulu, kan sayang duit," Delam ngoceh. Prada sampai terbengong, tumben adiknya ngomong lebih dari satu kalimat.

"Bilang ke Zay," sahut Prada tersenyum lebar, entah dia senang mendengar Delam bicara panjang.

Delam mendesah. Gak lucu kalo gak berhasil, dia udah capek-capek ngomong banyak. Tak ada pilihan lain. Keluarin jurus pamungkas. Jijik sih pasti. Delam tidak pernah melakukannya, tapi kali ini harus dilakukan, demi kelancaran hidup.

"Mass, pleaseeeee ...." Delam memohon dengan tampang merajuk, menangkup kan tangan, dan bibirnya agak dimajukkan. Dia belajar dari Ayya sebenarnya yang kalau minta sesuatu ke masnya pasti pasang ekspresi begitu.

Delam 1999 (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang