PART 63

7.6K 556 116
                                    

"Zen-Zen, Ayya berantem sama temennya."

Zen lagi beresin buku-bukunya dengan tenang, saat salah satu teman sekelasnya menghampiri dengan heboh. Tanpa bertanya apa pun lagi, dia meninggalkan buku-buku yang belum semua masuk ke dalam tas. Si teman kelas yang tadi memberitahu, mengikuti Zen di belakang.

"Lo gak bisa seenaknya dong, Zennaya! Lo punya tanggung jawab di sini, gak bisa lo minta izin terus. Keluar aja lo sekalian!"

"Yaudah, gue keluar. Gitu aja repot!" Wajah Ayya menajam, memandang teman satu organisasi dan satu SekBid dengannya itu, lalu melengos, mengambil tas, dan pergi.

Sebagai wakil ketua, tentu Zen mengenal juga wanita yang merupakan anggotanya itu.

"Heh, Zen! Jangan karena lo saudara dia, lo jadi belain dia, ya! Di sini lo wakil ketua, harusnya bisa urusin anggota lo yang seenaknya kayak gitu." Lalu Wina, orang yang bertengkar dengan Ayya itu, terkekeh. "Oh, iya. Lo kan sama aja, ya. Gak pantes lo jadi wakil ketua. Nyesel gue pernah milih lo! Sama-sama kurang tanggung jawab. Setiap kumpul jarang banget ada. Kita-kita balik sore, lo berdua balik siang, enak banget. Mana solidaritasnya?!!"

Zen tak menyahut, bibirnya mengatup. Ingin sekali menyumpal mulut teman wanitanya itu. Walaupun Zen sekarang sering tidak ikut saat rapat atau ada kumpulan, tapi dia tak pernah meninggalkan tugasnya kok. Arya, ketuanya juga mengizinkan, paham dengan situasi Zen saat ini.

"Win, ada apa sih? Lo ribut-ribut di sini. Ketahuan guru bisa berabe, tahu gak?" Datang juga Arya.

"Biarin aja! Biar guru-guru tahu kelakuan murid kesayangannya pada gak bener!" sahut Wina, entah kenapa wanita itu sangat menggebu. Dua temannya yang sama-sama satu SekBid hanya diam, Wina saja yang terlihat sengak.

"Gue yang izinin. Lagian, kerjaan mereka juga udah pada beres. Zennaya gak pernah ninggalin kerjaan, kan?"

Diskak seperti itu oleh sang ketua, Wina bungkam. Tak menyangkal, karena memang tugas Ayya selalu beres. Hanya yang dia ingin kan itu solidaritas. Satu capek, semua capek.

"Zen, lo kejar Ayya aja," titah Arya.

Zen tampak ragu untuk meninggalkan, dia harus menyelesaikan masalah ini.

"Gak pa-pa, Zen. Cepetan sana," titah Arya lagi.

Zen akhirnya mengangguk. "Makasih, Ar," katanya.

"Win, sorry sebelumnya." Zen melirik Wina, berucap tulus. Lalu berbalik, berlari menyusul Ayya yang pasti masih ada di area sekolah.

"Kakak mereka kritis, Win. Koma, udah tiga hari."

Ucapan Arya. Seketika membuat Wina tambah bungkam. Dia tidak tahu apa-apa. Zennaya selalu tampak baik-baik saja.

-

"Ay-Ay." Zen berhasil menangkap tangan Ayya yang melangkah cepat depan lobi.

"Mau ke rumah sakit? Ayok sama gue."

Muka Ayya merah, kembarannya itu menggeleng.

"Gue mau pulang. Pak Arif udah di jalan. Lo balik lagi aja, Zen. Kalo dua-duanya pergi, nanti orang makin mikir keenakan. Gue gak pa-pa kok," kata Ayya, tersenyum diakhir kalimat. "Beneran, Zen."

Raut wajah Ayya sudah melembut kembali. Zen menatap Ayya dalam. Ayya balas menatapnya, meyakinkan.

"Pak Arif udah ada di depan, gue balik duluan, ya. Mau tidur, kayaknya gue butuh tidur siang," ucap Ayya, memaksakan kekehan setelahnya.

"Udah sana beresin kerjaan lo, gue balik. Dah." Ayya mendorong pelan Zen, lalu melambaikan tangan, melanjutkan langkahnya menuju gerbang.

Zen memperhatikan punggung Ayya yang menjauh. Kembarannya yang selalu lebih kuat darinya itu, kini tampak sedang benar-benar rapuh.

Delam 1999 (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang