PART 11

7K 531 16
                                    


Setelah pintu kamar tertutup. Air matanya langsung menetes. Delam duduk di kursi meja belajar. Menyembunyikan wajah pada lipatan tangan di atas meja. Lagi-lagi terisak, kali ini tanpa suara.

Sekalipun dia selalu berusaha untuk ikhlas pada apa pun yang mungkin terjadi, tapi kenyataannya ... Delam tak pernah siap untuk menerima, apalagi untuk ikhlas.

Sudah Sejak lama Delam merasa ada yang ganjal dengan organ barunya itu, tapi selalu dia tepis. Memilih untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan maksud semoga tuhan mengabulkan do'anya, dan jikapun prasangka buruknya terjadi, semoga nanti tuhan mau menerima Delam dengan baik di sisinya. Tapi sekali lagi, nyatanya Delam tak pernah siap, dan sepertinya tak akan pernah siap. Terlalu takut dengan segala kemungkinan. Terlalu Takut masa-masa menyakitkannya terulang kembali.

"Goblok banget si! Masa lari di treadmill aja lo gak kuat," rutuknya disela isakan dengan kepalan tangan memukul-mukul meja. Isakan tak bersuara itu berlanjut sampai air matanya akhirnya surut sendiri.

Delam mengangkat kepala dengan mata sembab, menatap sekeliling kamar yang penuh dengan segala tentang basket. Ada ring, bola, baju-baju pemain handal yang dia gantungkan di dinding, dan bajunya sendiri yang dia dapat dari tim basket, tapi tak pernah sekalipun dipakai bertanding, di lemari kaca ada action-action figur pemain basket, figur-figur dari anime Slam dunk yang berjajar rapi. Semua di kamarnya kental akan segala tentang olahraga itu, bahkan sampai jam digital pun berbentuk bola basket. Tapi semua tak berarti lagi, satu satunya impiannya yang tak mungkin tercapai. Bertanding sebagai tim inti sekolah saja Delam tidak pernah ikut, apalagi jadi pemain basket hebat.

Delam beranjak, melangkah menuju balkon. Semburat jingga menyambut saat pintu dibuka. Matahari sudah siap pulang. Dengan tangan bersidekap pada pagar pembatas, Delam memandang sekeliling, atap-atap rumah megah yang Delam yakini hanya ada satu atau dua orang di dalamnya, segala kesibukkan dari penghuni yang membuat rumah itu sepi.

"WOI, KAK!!"

Delam refleks menoleh. Aihh, lupa lagi matanya pasti masih merah, mana sembab.

"Ngapain lu di kamar Zay?" tanya Delam pada orang yang berteriak di balkon samping kamarnya yang dipisah oleh pagar pembatas.

Zen nyengir. "Gue ke kamar lo, ya."

"Heh--" Baru saja Delam akan protes,  Zen sudah menghilang dari balkon.
Kemudian suara ketukan pada pintu kamarnya terdengar. Lah, tumben banget tuh anak berani. Delam melangkah masuk, membukakan pintu.
Zen berdiri di ambang pintu, menggendong sesuatu di punggungnya.

"Boleh masuk?" izinnya.

Delam mengangguk, mau larang tapi nanti ngadu, Delam lagi yang kena. "Mau ngapain lo? Tumben bener sumringah, biasanya juga diem."

Zen masuk menyimpan sesuatu yang digendong di punggungnya yang ternyata tas gitar. "Ah, lo-nya aja yang gak kenal gue," kata Zen.

Delam diam. Ya, menyadari. Baru kali ini dia satu ruangan berdua dengan Zen, bahkan sepertinya baru kali ini dia bicara sama Zen. Ya Zennya juga yang selalu sibuk, dimaklumlah titisan Zay. Atlet basket, siswa yang selalu ikut olim, anggota OSIS , terus banyak lagi kesibukkannya, pokoknya ya gitu Zen itu titisan Zay, salah satu manusia yang berperan penting di dunia.

Zen menyodongkan badan menilik wajah sang kakak yang berdiri di hadapannya.
Posisi mereka sekarang, Zen duduk di tepi ranjang, dan Delam berdiri di hadapannya.

"Lo abis diputusin?" tanya Zen.

Delam kikuk. Tuh'kan, kecyduk. / "Kagaklah yakali," sahutnya sembari memalingkan wajah celingukan, dan ah,
kursi belajar. Delam melangkah menjauhi Zen, duduk di sana.

Delam 1999 (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang